Jumat, 10 Juni 2011

KRITIK SASTRA BERDASARKAN ORIENTASI SASTRA DALAM NOVEL AYAT AYAT CINTA KARYA HABIBURAHMAN EL SHIRAZY

1. Latar Belakang
Kehadiran sastra ditengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realita social budaya. Hingga saat ini sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi tetapi juga dianggap sebagai suatu karya yang kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual disampaing konsumsi emosi.
Karya sastra merupakan suatu alat yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan ide, pesan atau keyakina. Karya sastra tidak saja memberikan manfaat sebagai hiburan tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai pelajaran dan pedoman hidup. Nilai-nilai luhur kehidupan manusia dalam karya sasta berkaitan erat dengan unsur keagamaan. Nilai-nialai tersebut dimaksud untuk memperkaya rohani dan meningkatkan mutu kehidupan manusia.
Karya satra ditulis pengarang untuk anataralain menawarkan model kehidupan yang di idealkannya. Model kehidupan itu anataralain berupa ajaran akhlak yang dituangkan dalam watak para tokoh sesuai dengan panadangan hidupnya. Sebagaimana dapat dilihat dalam kehidupan nyataajaran akahlak tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seprti tingkah laku, dan sopan santun pergaulan tersebut dapat juga ditampilkan dalam cerita melalui watak para tokohnya
Berdasarkan uraian yang telah disamapaikan diatas maka penulis ingin mengkaji dari segi kritik Sastra Berdasarkan Orientasi Sastra Dalam Novel Ayat Ayat Cinta Karya Habiburahman El Shirazy ini. Sebab novel ini meberikan gamabaran dan pencerahan bagi pembaca agar tetap semangat dalam menjalani kehidupan ini.

2. Sinopsis Novel Ayat Ayat Cinta

Judul : Ayat Ayat Cinta
Penulis : Habiburahman El Shirazi
Editor : Anif Sirsaeba A
Penerbit : Penerbit Republika
Tahun Penerbit : 2003
ISBN : 979-3604-02-6
Jumlah halaman : 411 halaman
Cover : kuning muda dan bercampur dengan warna hitam disertai dengan gambar seorang manita bercadar

AYAT AYAT CINTA

Fahri adalah seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas Al Azhar, mesir. Ia selalu meneladani Rasulullah SAW. Dalam segala tindak-tanduknya. Hal itu tercermin dari prilakunya sehari-hari, baik dalam bertetangga, berinteraksi dengan lawan jenis, maupun dengan sesama muslim atau nonmuslim. Dakwah adalah aktivitas kesehariannya. Bagi Fahri, dakwah dapat dilakukan di mana pun dan kapan pun. Di ceritakan bagaimna ia dalam metro (kereta listrik), yang membawanya menuju talaqi qira’ah sab’ah, mengingatkan khalayak untuk menghormati tamu dan ahli dzimamah. Juga diceritakan bagaimna ia menjelaskan hukum interaksi laki-laki dan perempuan yang bukan mahram kepada tetangga,Maria yang merupakan pemeluk Kristen Koptik (Qibthi) yang taat.
Selain itu, Fahri juga berusaha untuk menjelaskan bagaimna konsep islam sebenarnya kepada seorang yang tertarik untuk mengetahui islam secara jelas. Alicia, seorang turis Amerika yang telah di tolong oleh Aisha dan Fahri akhirnya menjadi paham terhadapa ajaran Islam yang sesungguhanya dan memutuskan untuk menjadi seorang mu’alaf.
Kehidupan Fahri berubah 180 derajat ketika ia menikah dengan seorang muslimah Turki. Dari seorang mahasiswa miskin yang berangkat ke Mesir dengan menjual sawah warisan keluarga satu-satunya, ia menjadi suami pemilik perusahaan-perusahaan besar yang laba bulanannya berkisar miliaran rupiah. Hidupnya pun menjadi seperti mimpi: tinggal di apartemen yang berada dikawasan elite Cairo, yang juga merupakan tempat tinggal orang-orang penting Mesir, memiliki isteri yang solehah, cantik, cerdas, dan kaya raya.
Sebelum melangsungkan pernikahan, Fahri dilanda dilema yang hebat. Nurul, seorang muslimah asal Indonesia yang selama ini ia cintai ternyata memintanya untuk menjadikan dirinya sebagai istri bagi Fahri. Tentu saja Fahri tidak bisa berkata ap-apa karena sebelumnya ia menerima lamaran seorang muslimah yang belum dikenalnya, yang ternyata muslimah itu adalah Aisha. Fahri sempat dirundung kecewa dan bimbang untuk meneruskan pernikahannya dengan Aisha karena Ijab Kobul belum dilangsungkan. Tetapi setelah ia berfikir jernih maka ia tetap memutuskan untuk tetap menikahi Aisha.
Keimanan dan keikhlasan Fahri diuji ketika ia harus masuk penjara karena difitnah sebagai pemerkosa. Ia dituduh telah memperkosa Noura, seorang gadis mesir yang beberapa bulan sebelumnya pernah ditolongnya melalui bantuan dari Maria. Tentu saja ini merupakan guncangan yang berat bagi keluarga Fahri, terutama Aisha yang tengah mengandung buah cinta mereka. Fahri memang mengetahui bahwa sebenarnya Noura pernah menulis surat cinta kepadanya, tapi ditanggapi dingin oleh Fahri.
Di dalam penjara pun Fahri tetap konsisten menjalankan perintah Allah: berpuasa, dan shalat lima waktu, bahkan ia tetap menjalankan iabadah sunnah, seprti shalat tahajud. Tak hanya itu, sekalipun di penjara ia tetap menimba ilmu dari seorang Guru Besar Ekonomi yang di penjara karena kritik-kritik pedasnya. Fahri mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari petugas penjara, cambukan, pukulan, bahkan perlakuan yang tidak senonoh pun dialami oleh Fahri beserta penghuni lainnya. Tak jarang para tahanan tak kembali lagi ke selnya melainkan kembali ke penciptanya karena siksaan yang mereka siksaan yang mereka lakukan terhadap tahana.
Selain cobaan di dalam penjara, Fahri juga menghadapi godaan untuk menyuap agar ia dapat dibebaskan. Juga terbesit ide untuk memberikan kesaksian palsu agar dapatmembebaskan orang yang tidak bersalah. Namun ia tetap teguh memegang prinsip untuk tetap berjalan berdasarkan tuntutan Alquran.
Kebenaran tetap tidak dapat disembunyiakan. Akirnya Fahri dapat bebas dari penajara berkat kejujuran yang diberikan oleh orang-orang yang tadinya memberikan kesaksian palsu. Setelah bebas dari penjara, kehidupan Fahri berlanjut dengan kisah yang lebih mengahrukan.
Maria, anak tuan Boutros jatuh sakit. Sakitnya ini dipicu oleh kabar pernikahan Fahri dan Aisha. Ternyata diam-diam Maria menyuksi dan mengahrap Fahri menjadi suaminya. Karena tidak ikhlasnya Maria jatuh sakit dan tak sadarkan diri, hanya sentuhan dan belaian Fahri yang dapat menyadarkan Maria dari koma panjangnya itu.
Ada air mata Fahri, ketika ia membaca lembar demi lembar diary yang ditulis Maria. Oarang tua Maria meminta Fahri untuk membelai atau mengelus tubuh Maria untuk merangsang kesadarannya. Namun, ia tak dapat berbuat banyak untuk Maria, sekarang ia telah memiliki Aisha tengah mengandung dan Maria bukanlah muhrimnya tidak mungkin ia dapat menyentuh wanita yang bukan muhrimnya. Bujukan demi bujukan terus datang dari kedua orang tua Maria untuk menikah anaknya.
Fahri benar-benar bingung, namun kebaikan hati Aisha untuk mengizinkannya untuk menikahi Maria menambah beban hati Fahri. Akhirnya, dengan izin, Allah Fahri menikahi Maria yang sebelumnya telah memeluk agama Islam. Tak berapa lama dari proses pernikahannya dengan Maria, Maria dipanggil menghadap yang kuasa.
Begitulah kisah lika-liku kehidupan Fahri yang banyak di hadapkan dengan maslah percintaan, namun mampu ia jalani semua skenario yang maha kuasa itu dengan baik. Akhirnya Fahri hidup berbahagia dengan Aisha. Sedangkan Nurul akhirnya menikah dengan seorang ustadz yang berasal dari negara sendiri.



3. Interpretasi terhadap Novel Ayat Ayat Cinta
3.1Kritik Mimetik
Kebiasaan atau adat istiadat masyarakat Mesir dalam novel Ayat Ayat Cinta tercermin dalam kutipan-kutipan berikut.
Tengah hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah dan pasir seakan menguapkan bau neraka. Hembusan angin sahara disertai debuyang bergulung-gulung menambahpanas udra semakin tinggi dari detik ke detik. Penduduknya, banyak yang berlindung dalam Flat, yang ada dalam partemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu, jendela, dan tirai tertutup rapat. Memang, istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan jauh lebih nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meskipun sekadar untuk shalat berjamaah di masjid. Panggilan azan Zuhur dari ribuan manara yang bertebaran di seantero kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang benar-benar tebal imannya. Mereka yang memiliki tekad beribadah sesempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca, seperti karang yang tegak berdiri dalam dalam terjangan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari (El Shirazi, 2004:15).

Kutipan di atas menandakan kebiasaan masyarakat Cairo Mesir yang tergambar dalam suasana keseharian mereka pada saat musim panas sangat tinggi. Dari kutipan di atas, terlihat berbagai gambaran bahwa ketika puncaknya musim panas datang, semua penduduk mesir lebih memilih untuk berlindung di balik flat. Meskipun Azan sudah diperdengarkan namun hanya sedikit sekali orang-orang yang tergerak hatiny auntuk shalat berjamaah ke mesjid dan hanya orang yang imannya tebal mau shalat berjamah ke masjid.
Dari gambaran di atas sudah telihat jelas bahwa ketika puncak musim panas datang itu membuat semua penduduk kota cairo menjadi malas utuk keluar rumahdan apalagi untuk melakukan aktivitas. Hal itu tercermin dalam kutipan berikut “Awal-awal ugustus memang puncak musim panas. Dalam kondisi tidak nyaman seperti ini, aku sebenarnya sangat malas keluar. Rmalan cuaca mengumumkan: empat puluh satu derajat celcius! Apa tidak gila? Mahasiswa asia Tenggara yang tidak tahan panas, biasanya sudah mimisan, hidungnya mengeluarkan darah” (El Shirazi, 2004:16).

3.2 Kritik Pragmatik
Novel Ayat Ayat Cinta karya Habiburahman El Serazi ini mampu membangkitkan semangat umat uslim yang beraga islam yang ingin mengenal Allah lebih dalam lagi. Novel ini bukan hanya sekedar bacaan novel belaka saja, akan tetapi bisa menjadi motivasi hidup seorang muslim dan muslimah menjadi lebih baik dalam mengarungi kehidupan ini, serta menambah wawasan tentang agama Islam. Hal itu dapat terlihat dari kutipan berikut.
Menjelang Zuhur aku bersiap untuk menjenguk Maria yang sakit, Aisha kuminta di rumah. Dia pesan dibelikan buah pir dan korma. Tab-tiba ada orang membunyikan bel dengan kasar sekali. Aku bergegas membuka pintu dibuntuti Aisha yang penasaran siapa yang membunyikan bel seperti orang gila itu. Begitu pintu kubuka. Tiga orang polisi berbadan kekar menerobos masuk tanpa permisi dan menghardik,
“Kau yang bernama Fahri Addullah?!”
“Ya benar,ada apa?”
“kami mendapatkan perintah untuk menangkapmu dan menyeret mu kepenjar, ya Mugrim!” bentak polisi berkumis tebal.
“Klian bawa surat penangkapan dan apa kesalahan ku?”
“Ini suratnya, dan kesalahnmu lihat saja nanti di pengadilan!”
Aku membaca selembar kertas itu. Aku di tangkap atas tuduhan memeprkosa. Bagaimna ini bias terjadi” (El Sharazi, 2004: 303-304).
Pada kutipan diatas menggambarkan bahwa keimanan dan keikhlasan Fahri diuji ketika ia harus masuk penjara karena difitnah sebagai pemerkosa. Ia dituduh telah memperkosa Noura, seorang gadis mesir yang beberapa bulan sebelumnya pernah ditolongnya melalui bantuan dari Maria. Namun itu semua hanyalah berupa fitnahan dan ujian terhadap Fahri. Air mata Aisha tidak dapat di bendung lagi mengiringi sang suaminya di tangkap polisi. Namun Fahri meminta polisi untuk memberikan kepada sebentar berbica kepada istrinya dengan tujuan untuk meyakinkan dan menguatkan sang istri. Selain cobaan ini ada lagi cobaan hidup yang dialami aleh Fahri yang dapat kita lihat pada kutipan berikut ini.
Setelah berbincang dengan Madame Nahe, Aisha mengajakku berbicara empat mata. Matanya berkaca-kaca.
“Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas.”
“Tidak Aisha, tidak! Aku tidak bisa.”
“Menikahlah dengan dia, demi anak kita. Kumohon! Jika Maria tidak memberikan kesaksiannya, mka aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamaykan ayah dari anak yang aku kandung ini.” Setetes air bening keluar dari sudut matanya.
“Aisha, hidup dan mati ad di tangan Allah”
“Tapi manusia harus berusaha sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu saja. Menikahlah dengan maria lakukanlah seluruh petunjuk dokter untuk menyelamatkannya.” (El Sharazi, 2004: 376)
Dari kutipan diatas terlihat jelas bahwa cobaan yang dihadapi oleh Fahri benar-benar membuatnya bingung, namun kebaikan hati Aisha untuk mengizinkannya untuk menikahi Maria menambah beban hati Fahri. Akhirnya, dengan izin, Allah Fahri menikahi Maria yang sebelumnya telah memeluk agama Islam. Dengan penuh kesabran dan disertai dengan hati yang ikhlas dalam menghadapi ujianyang Allah berikan kepadanya dalam menjalani kehidupan.
Puncak dari perjuangan tokoh utama di dalam novel ini dalam perjalanan kisah lika-liku kehidupan Fahri yang banyak di hadapkan dengan maslah percintaan, namun mampu ia jalani semua skenario yang maha kuasa itu dengan baik. Akhirnya Fahri hidup berbahagia dengan Aisha. Setelah mereka melepaskan kepergian Maria Istri kedua Fahra untuk menghadap sang Ilahi sperti yang terdapat pada kutipan berikut ini. “Maria mengahadap Tuhan dengan menyungging senyuman di bibir. Wajahnya bersih seakan diselimuti cahaya. Tadi kata-kata yang diucapkannya dengan bibir bergetar itu kembali terngiang-ngiang ditelinga (El Sharazi, 2004: 402)”.
2. Kritik Ekspresif
Novel Ayat Ayat Cinta ini ditulis oleh Habiburahman El Shirazi yang mempunyai latar belakang kehidupan yang kelam. Sejak kecil, ia yang merupakan tokoh Fahri dalam novel ini telah terbiasa hidup mandiri. Kesadaran akan kekurangan orang tuanya dari segi ekonomi , Fahri membagi waktunya untuk bersekolah dan kemudian bekerja guna membantu pemasukan bagi orang tuanya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Pukul dua belas malam teman-teman sudah tidur. Tapi aku sam sekali tidak bisa memejamkan mata. Aku ingat banyak hal. Aku menelusuri kembali perjalan hidup ku. Sejak masih SD, jualan tempe. Lalu masuk pesantren menjadi khadim Romo Kini sambil melanjut sekolah di Tsanawiyah dan Aliyah milik pesantren. Dan akhirnya dengan susah payah bisa sampai mesir. Aku menangis sendiri ditemani sepi” ( El Sharazi, 2004: 241).
Habuburahman El Shirazi adalah seorang pengasuh tanya-jawab masalah Islam di pesantren Virtual, yang berbasis di Cairo dan beliau mempunyai semangat menulis yang sangat tinggi. Hal itu tergambar dari novel yang tulisnya dan beliau melukiskan kehidupan kota Mesir yang menjadi latar belakang cerita ini dengan begitu mengesankan karena ia mengalami sendiri hari-hari di kota-kota mesir. Seprti yang terdapat dalam kutipan ini, “Awal-awal ugustus memang puncak musim panas. Dalam kondisi tidak nyaman seperti ini, aku sebenarnya sangat malas keluar. Ramalan cuaca mengumumkan: empat puluh satu derajat celcius! Apa tidak gila?” (El Sharazi, 2004:16)
Kesadaran Habuburahman El Shirazi untuk mengeksplor budaya di dikota mesir dalam novel Ayat Ayat Cinta ini terlgambar dari suasan yang di bangun juga diperkenalkan dengan digunakannya bahasa Arab fusha (formal maupun ‘amiyah (informal) hampir dalam setiap pargrafnya. Seprti yang terdapat pada kutipan berikut.
Dengan tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen (rasa malas melakukan sesuatu) aku bersiap untuk keluar. Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk talaqqi (face to face dengan seorang Syaikh atau ulama) belajar langsung pada Syaikh Utsman Abdul Fattah. Pada Ulama basar ini aku belajar qiraah sab’ah (Membaca Al-Quran dengan riwayat tujum Imam) dan ushul tafsir (Ilmu tafsir paling pokok). Beliau adalah murid Syaikh Mahmoud Khushari, ulama legendaris yang mendapat julukan Syaikhul Maqari’ Wal Huffadh Fi Mashr atau Guru besarnya Para Pembaca dan Penghapal Al-Quran di Mesir (El Sharazi, 2004:16)

Penulis Novel Ayat Ayat Cinta juga sangat peka terhadap problaem dasar kehidupan manusia. Hal itu dibuktikan dari sikapnya sebagai tokoh Fahri di dalam novelnya yang selalu perduli terhadap orang lain dan sikap solidaritasnya yang tinggi terhadap teman-temannya cukup menunjukkan bahwa ia perduli terhadap keadaan di sekitarnya. Sikapnya itu tercerrmin ketika Asraf menoleh ke kanan dan memandangi tiga bule itu dengan raut tidak senang. Tiba-tiba ia berterika emosi, “Ya amrikkaniyyun, la’natullah ‘alaikum!” (Hai orang-orang Amerika, laknat Allah untuk kalian). (El Sharazi, 2004:39) dari perkataan yang dilontarkan Asraf sehingga menimbulkan perselisihan di dalam kreta listrik dan akhirnya semua menjadi terkendali dan tidak terjadi keributan berkat Fahri yang membuat mereka malu atas apa yang mereka lakuakan.

3.3 Kritik Objektif
Unsur-unsur Intrinsik dalam Novel Ayat Ayat Cinta Karya Habiburahman EL Shirazi:
1) Plot atau alur
Dalam novel Ayat Ayat Cinta ini, El Sharazi menggunakan plot campuran yaitu plot maju atau kronologis dan plot mundur atau plot flash-back di setiap bagian bab yang ada yaitu 33 bab. Penahapan plot dalam novel Ayat Ayat Cinta ini adalah sebagai barikut.
(1) Tahap situation, tahap dalam novel Ayat Ayat Cinta terjadi pada bab I yaitu penggambaran suasana di kota mesir sedang dalam musim panas yang mencapai empat puluh satu derajat celcius. Ketika fahri mau ke Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk belajar embaca Al-Quran. Karena novel ini mengandung kata ‘Cinta’, akan tidak lengkap jika kita tidak membahas kesan yang tertangkap bahwa novel ini merupakan novel yang romantis dan ini beralwal dari perjumpaan Fahri dan Aisha waktu pertama kali bertemu di metro (kreta listrik).

(2) Tahap pemunculan konflik, tahap pemunculan konflik itu sudah mulai uncul pada bab III peristiwa ini terjadi di dalam Metro (kreta listrik). Pada saat salah satu penduduk mesir yang bernama Asraf, dia mencaci orang bule yang berasal dari Amerika Serikat dengan perkataan yang sangat kasar. Akibat ulahnya semua penduduk mesir yang ada dalam metro ikut terpancing dan menimbulkan konflik . namun semuanya bias diatasi berkat usaha dari Fahri dan pada akhirnya mereka malu atas apa yang telah mereka lakukan.

2) Tokoh dan Penokohan
(1) Tokoh
Setelah membaca novel Ayat Ayat Cinta disimpulkan bahwa kisah yang terjalin dalam rangkaian peristiwa karya Habuburahman El Shirazi diperankan oleh beberapa tokoh cerita. Tokoh-tokoh cerita tersebut dibagi menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang ditampilkan terus-menerus dan diutamakan penceritaanya sehingga mendominasi sebagian besar cerita. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan kadar kemunculannya berhubungan dengan peristiwa atau kejadian yang dialami oleh tokoh utama. Tokoh utama novel Ayat Ayat Cinta adalah Fahri. Adapun tokoh-tokoh tambahan adalah tokoh Aisha, Maria, Alicia, Noura, sayakh Utsman Abdul Fattah, saiful, rudi, hamdi, misbah, Madame Nahed ibu dari Maria, tuan bouttros Rafael girgis, syaikh ahmad, musthafa.
(2) Penokohan
Pelukisan tokoh crita dalam sebuah karya fiksi dapat menggunakan teknik analitik dan teknik gramatik. Setelah membaca novel Ayat Ayat Cinta disimpulkan bahwa pengarang menggunakan teknik analitik dalam melukiskan atau menggambarkan penokohan tokoh-tokoh dalam cerita.
a. Fahri
Tokoh Fahri digambarkan sebagai seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas Al Azhar, mesir. Ia selalu meneladani Rasulullah SAW. Dalam segala tindak-tanduknya. Hal itu tercermin dari prilakunya sehari-hari, baik dalam bertetangga, berinteraksi dengan lawan jenis, maupun dengan sesama muslim atau nonmuslim. Sperti dalam kutipan berikut ini pada saat orang mesir menghina orang Amerika dalam Metro. “kita semua tidak menyukai tindak kezaliman yang dilakukan siapa saja. Termasuk yang dilakukan Amerika. Tapi tindakan kalian seprti itu tidak benar dan jauh dari tuntunan ajaran baginda nabi yang indah” (El Sharazi: 2004:48).
Selain itu, Fahri juga digambarkan sebagai wanita yang selalu sabar dalam menghadapi semua cobaan dan dia selalu ikhlas dlam menjalani semua cobaan itu dengan sabar tanapa ada rasa optimis. Hal itu dapat di lihat dari kutipan berikut.
Setelah berbincang dengan Madame Nahe, Aisha mengajakku berbicara empat mata. Matanya berkaca-kaca.
“Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas.”
“Tidak Aisha, tidak! Aku tidak bisa.”
“Menikahlah dengan dia, demi anak kita. Kumohon! Jika Maria tidak memberikan kesaksiannya, mka aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamaykan ayah dari anak yang aku kandung ini.” Setetes air bening keluar dari sudut matanya.
“Aisha, hidup dan mati ad di tangan Allah”
“Tapi manusia harus berusaha sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu saja. Menikahlah dengan maria lakukanlah seluruh petunjuk dokter untuk menyelamatkannya.” (El Sharazi, 2004:376)
b. Aisha
Tokoh Aisha digambarkan sebagai tokoh yang berhati mulia, suka menolong dan tidak sombong. Sikapnya itu tercermin dari kutipan berikut yang terjadi di dalam Metro (kreta listrik).
“ Nenek bule kelihatannya tidak kuat lagi berdiri. Ia hendak duduk menggelososr dilanatai. Belum sampai nenek bule itu benar-brnar menggelongsor, tiba-tiba perempuan bercadar itu teriak mencegah,
“Mom, wait! Please, sit down here!”
Perempuan bercadar putih bersih itu bangkit dari duduknya (El Sharazi, 2004:41)
Aisha juga digambarkan sebagai wanita yang selalu sabar dalam menghadapi semua cobaan dan dia selalu ikhlas dlam menjalani semua cobaan itu dengan sabar tanapa ada rasa optimis. Hal itu dapat di lihat dari kutipan berikut.
Setelah berbincang dengan Madame Nahe, Aisha mengajakku berbicara empat mata. Matanya berkaca-kaca.
“Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas.”
“Tidak Aisha, tidak! Aku tidak bisa.”
“Menikahlah dengan dia, demi anak kita. Kumohon! Jika Maria tidak memberikan kesaksiannya, mka aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamaykan ayah dari anak yang aku kandung ini.” Setetes air bening keluar dari sudut matanya.
“Aisha, hidup dan mati ad di tangan Allah”
“Tapi manusia harus berusaha sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu saja. Menikahlah dengan maria lakukanlah seluruh petunjuk dokter untuk menyelamatkannya.” (El Sharazi, 2004:376)
“Yahknab baitik!(artinya secra bahasa semoga rumahmu roboh, biasanya di gunakan untuk mengumpat dalam ba hasa jawa senada dengan kata-kata: Bajingan! Dancuk! Dan sejenisnya), kau telah menghina seluruh orang mesir yang ada di metro ini. Kau sungguh keterlaluan! Kelihatannya saja bercadar, sok alim, tapi sebetulnya kau perempuan bangsat! Kau kira kami ini taidak tau sopan santun apa? Sengaja kami mengacuhkan orang Amerika itu untuk sedikit memberikan pelajaran (El Sharazi, 2004:43)
c. Maria
Tokoh Maria digambarkan pengarang sebagai seorang gadis Mesir berwajah cantik dan mempunyai mata yang bening. Maria sangat ramah terhadap siapapun, meskipun ia berasal dari keluarga Kristen Koptik dan kebetulan dia bertetanggan dengan Fahri. Berikut kutipan cerita tentang tokoh Maria.
“ kuhentikan langkah. Telingaku menangkap ada suara memanggil-manggil nama ku dari atas. Suara yag sudah aku kenal. Kupicingkan mataku mencari asal suara. Di tingkat empat, tepat di atas kamarku. Seorang gadis mesir berwajah bersih membuka jendela kamarnya sambil tersenyu. Mata yang bening menatapku penuh dengan binar (El Sharazi, 2004:21-22).
Selain itu, ternyata Maria juga diam-diam menyukai fahri, apa lagi pada saat dia mendengar berita kalau Fahri mau menikah dengan Aisha. Sikapnya itu tercermin dalam kutipan berikut.
“Apa madame?”
“Dia menyebut-nyebut namamu. Hanya namamu, Anakku. Dia ternyata sangat mnecintaimu”.
Kalimat yang diucapakn mademe nahed bagaikann guntur yang menyambar kepalaku. “Tak mungkin itu terjadi, madame!” bantahku.
Yousef langsung menyambut, “benar Fahri, maria sangat mencintaimu. Aku telah membaca diary-nya. Dia menulis perasaan cintanya padamu disana (El Sharazi, 2004:341).

d. Noura
Tokoh Noura digambarkan pengarang sebagai tokoh yang sejak lahir selalu mendapatkan tekanan psikis yang menderita selama ini lebih berat dari siksaan Fisik yang ia terima. Karena waktu lahir Noura tertukar dengan bayi lain jadi dia tidak diasuh oleh orang tua kandungnya. Berikut pelukisan tokoh Noura.
“Aku menangis karena betapa selama ini Noura menderita tekanan batin yang luar biasa. Ia sangat ketakutan, merasa tidak memiliki tempat yang aman. Ia merasa dalam kegelapan yang berkepanjangan. Tanpa cahaya cinta dan kasih dari keluarga. Ia telah kehilangan kepercayaan kepercayaan dirinya sebagai manusia merdeka tanpa belenggu nestapa.Sesungguhnya tekanan psikis yang menderanya selamanya ini lebih berat dari siksaan fisik yang ia terima” (El Sharazi, 2004:168)
Selain itu, ternyata Noura juga diam-diam menyukai fahri, samapi-samapai ia menuduh Fahri telah memperkosanya. Sikapnya itu tercermin dalam kutipan berikut.
Petaka itu datang kembali ketika perutku semakin membesar. Mereka menanyakan kepadaku siapa yang telah menghamiliku. Aku tiak mau berterus terang bahwa bahwa bahadur yang menghamiliku dengan memperkosa aku. Aku sudah sangat benci dengan dirinya.
“akhirnya aku berbohong pada mereka yang menghamiliku adalah Fahri. Sebab aku mencintai Fahri dan berharap nanti Fahri mau menikahiku. Namun yang kulakukan tak lain adalah dosa besar yang sangat keji” (El Sharazi, 2004:387)
e. Alicia
Tokoh Alicia digambarkan pengarang sebagai seorang reporter dari Amerika. Alicia orangnya sangat baik dan bersabat kepada siapa saja dan dia selalu ramah. Alicia juga bersahabat dengan Fahri, Aisha dan Maria. Seperti yang tertera dalam kutipan berikut. “dari national library aku langsung pulang. Di dalam metro aku memkasakan diri membaca dengan seksama pertanyaan yang diajukan Nona Alicia dari Amerika itu” (El Sharazi, 2004: 151)
f. Saiful
Tokoh Saiful digambarkan pengarang sebagai seorang mahasiswa Asia Tenggara yang tidak tahan panas, biasanya sudah mimisa. Saiful tinggal satu flat bersama Fahri dan bersama tiga temannya yang lain. Seperti yang tertera dalam kutipan berikut.
“teman satu flat yang langganan mimisan di puncak musim panas adalah Saiful. Tiga hari ini memasuki pukul sebelas siang samapai pukul tujuh petang, darah selalu merembes dari hidungnya. Padahal ia tidak keluar flat sama sekali” (El Sharazi, 2004:16).
“dalam flat ini kami hidup berlima: aku, Saiful, Rudi, Hamdi, dan Misbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama di mesir. Secra akademis aku juga yang paling tinggi” (El Sharazi, 2004:19)
g. Rudi
Tokoh Rudi dilukiskan pengarang sebagai salah satu sahabat Fahri yang tinggal satu Flat bersama dia. Rudi juga salah satu mahasiswa dan dia sekarang sam seperti Saiful baru mau masuk tingkat empat. Hal itu terlihat jelas dari kutipan berikut.
“dalam flat ini kami hidup berlima: aku, Saiful, Rudi, Hamdi, dan Misbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama di mesir. Secra akademis aku juga yang paling tinggi. Aku tinggal menuggu pengumuman untuk menulis tesis master di Al Azhar. Yang lain masih program s.1. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga, mau masuk tingkat empat” (El Sharazi, 2004:19)
h. Hamdi
Tokoh Hamdi digambarkan pengarang sebagai salah satu dari sahabat Fari juga yang tinggal bersamanya dalam satu Flat juga. Hamdi juga seorang mahasiswa dan sekarang dia sedang menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh gelar Lc atau licence. Hal ini tergambar dari kutipan berikut.
“dalam flat ini kami hidup berlima: aku, Saiful, Rudi, Hamdi, dan Misbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama di mesir. Secra akademis aku juga yang paling tinggi. Aku tinggal menuggu pengumuman untuk menulis tesis master di Al Azhar. Yang lain masih program s.1. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga, mau masuk tingkat empat. Sedangkan Misbah dan Hamdi sedang menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh gelar Lc atau licence” (El Sharazi, 2004:19)
i. Misbah
Tokoh Misbah digambarkan pengarang sebagai salbaiknya Fahri juga dan tidak jauh berbeda dengan yang lain Misbah juga tinggal satu Falat bersama Fahri bersama tiga temannya yang lain. Kalau masalh akademis Misbah sama dengan Hamdi yang sekarang lagi menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh gelar Lc atau licence, seprti yangterdapat dalam kutipan berikut ini.
“dalam flat ini kami hidup berlima: aku, Saiful, Rudi, Hamdi, dan Misbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama di mesir. Secra akademis aku juga yang paling tinggi. Aku tinggal menuggu pengumuman untuk menulis tesis master di Al Azhar. Yang lain masih program s.1. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga, mau masuk tingkat empat. Sedangkan Misbah dan Hamdi sedang menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh gelar Lc atau licence” (El Sharazi, 2004:19)
j. Madame Nahed ibu dari Maria
Tokoh Madame Nahed ibu dari Maria digambarkan pegarang sebagai tokoh yang sangat penyayang dan ramah terhadap orange lain. Hal itu tegambar dari kutipan berikut” Tolonglah, Anakku, aku tak mau kehilangan Maria. Aku sudah pernah mengalami apa yang dialami Maria. Hanya suaramu, sentuhanmu dan kehadiranmu di sisinya yang akan membuat dia kembali memiliki cahay hidup yang telah redup,” (El Sharazi, 2004:366).
k. Bahadur Gounzouri ayah asuh Noura
Tokoh Gounzauri digambarkan pengarang sebagai tokoh yang yang kejam dan sangat kasar serta tidak mempunyai sifat manusiawi. Ini tergambar pada kutipan berikut ini. “Si muka Dingin Bahadur rupanya masih mencari Noura untuk ia jual kepada serigala-serigala berwajah manusia” (El Sharazi, 2004:198). Selain itu, Bahadur juga tega menodai wanita yang mahram untuk di sentuhnya dan selalu menyiksanya seperti halnya dalam kutipan berikut ini.
“Petaka itu datang kembali ketika perutku semakin membesar. Mereka menanyakan kepadaku siapa yang telah menghamiliku. Aku tiak mau berterus terang bahwa bahwa bahadur yang menghamiliku dengan memperkosa aku. Aku sudah sangat benci dengan dirinya” (El Sharazi, 2004:387).
l. Syaikh Usman (guru ngaji Fahri)
Tokoh Syaikh Usman digambarkan pengarang sebagai tokoh Ustad yang berwibawa dan selalu memberikan contoh yang baik dan selalu adil dan bijak sana dalam mengambil keputusan. Hal itu terlihat dari kutipan berikut. “jadwalku mengaji pada Syaikh yang terkenal sangat disiplin itu seminggu dua kali. Setiap ahad dan rabu. Beliau selalu dtang tepat waktu. Tak kenal kata absen. Tak kenal cuaca dan musim. Selama tidak sakit dan tidak ada unzur yang terpenting beliau pasti datang” (El Sharazi, 2004:16).
m. Syaikh Muda
Tokoh Syaikh Muslim digambarkan pengarang sebagai tokoh Ustad muda yang sangat dekat kepada Fahri dan dia snagat baik dan ramah. Hal itu terlihat dari kutipan berikut. “imam muda yang selam ini dmasih sanagt muda, umurnya baru tiga puluh satu tahun, dan baru ssetengah tahun yang lalu dia meraih gelar magister sejarah Islam dari Universitas Al Azhar” (El Sharazi, 2004:30).
n. Tuan Boutros Rafael Girgis (Ayah Maria)
Tokoh Tuan Boutros Rafael Girgis merupakan Ayah dari Maria digambarkan pengarang sebagai kepala keluarga dari kristen koptik yang sangat taat beribadah. Selain itu Tuan Boutros juga sangat menghormati agama lain dan dia juga suka menolong. Seprti yan tertera dalam kutipan berikut ini pada sat tuan Boutros memberikan kesaksian ipersidangan Fahri.
“penuntut brtanya pada Tuan Boutros, “Apakah anatar jam 2 samapai jam 5 anada tidak tidur, jadi anda tahu persis Noura selalu bersama Maria, misalnya mendengar suara mereka dalam rentang waktu itu?”
Tuan Boutros dengan jujur manjawab, “ Tidak saya sedang tidur. Bahkan jeritan Noura dipukul Bahadur juga tidak saya dengar, Saya terlelap dan bangun jam lima” (El Sharazi, 2004:343-344)
3) Latar
Latar yang ada dalam novel Ayat Ayat Cinta ini terdiri dari latar tempat, waktu, dan sosial. Sebagai latar belakang cerita novel ini kota Mesir. Berikut kutipan secara berturut-turut yang menerangkan hal di atas.
“Tengah hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah dan pasir seakan menguapkan bau neraka. Hembusan angin sahara disertai debuyang bergulung-gulung menambahpanas udara semakin tinggi dari detik ke detik. Penduduknya, banyak yang berlindung dalam Flat, yang ada dalam partemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu, jendela, dan tirai tertutup rapat. (El Sharazi, 2004:15).

“dan pada kenyataannya tak ada buku atau kitab di dunia ini yang dibaca dan dihapal oleh jutaan manusia setiap detik melebihi Al Quran. Di Mesir saja ada ribuan Ma’had Al Azhar” (El Sharazi, 2004: 24)

“Angin sahara menampar mukaku dengan kasar. Debu bergumpal-gumpal bercampur pasir menari-nari di mna-mana. Kututup kembali pintu apartemen” (El Sharazi, 2004:18)

“Metro (kreta Listrik) samapi di Maadi, sebuah kawasan elite di Cairo setelah Heliopolis, Doki, Elzamalek dan Mohandesen.” (El Sharazi, 2004:37)

“Metro terus melaju. Tak terasa sudah samapai Mahattah Mat Girgis. Ashraf mendekatkan diri kepintu, ia bersiap-siap. Mahattah depan adalah El-Malik El- Saleh, setelah itu Sayyeda Zeinab dan ia akan turun di sana.aku menghitung masih tujuh Mahattah baru samapai di Ramsis setelah itu aku akan pindah jurusan metro Shubra El-Khaima” (El Sharazi, 2004:53)

“Seperti menegrti keinginan kami, begitu selesai talaqqi, Amu Farhat, takmir masjid yang baik hati itu membawakan empat gelas tamar hindi (air sari tebu (minuman paling memasyarakat di mesir saat musim panas))dingin” (El Sharazi, 2004:57)

“dari Nasr City aku langsung ke kampus Al Azhar di Maydan Husen. Langsung ke syu’un thullab dirasat ulya (bagian yang mengurusi mahasiwa pasca sarjan)” (El Sharazi, 2004:86)

“Senja musim panas sungguh indah meskipun tetap tidak seindah musim semi. Aku membuka jendela kamar lebar-lebar. Semburat mega kemerahan menghiasai langit. Bau uap pasir masih terasa. Angin bertiup semilir seolah mengahapus hawa panas” (El Sharazi, 2004:111)

“tak terasa sudah memasuki pertenagahan Septemeber. Suhu musim panas mulai turun. Paling tinggi 32 derajat celcius. Bulan oktober nanti adalah bulan peralihan dari musim panas ke musim dingin” (El Sharazi, 2004:195)

“Mobol kami terus melaju. Lampu-lampu telah manyala seperti bintang-bintang. Langit merah bersemburat indah. Mobil melaju di atas jalan laying yang membelah ramsis. Terus ke barat” (El Sharazi, 2004:245).

“Kami berada di atas jembatan 6 th Oktober yang menyeberangi sungai nil. Reratusan dan nigh club terapung telah menyalakan lampunya. Di depan sana agak ke selatan di tengah dartan seperti pulau di tengah sugai Nil tamapak Tower Cairo menjulang tinggi” (El Sharazi, 2004:245)

“apartemen di mana kami berada memang terletak diujung utara pulau di tengah sungai Nil. Inilah salah satu keindahan kota Cairo di belah oleh sungai Nil yang mengalir dari selatan ke utara” (El Sharazi, 2004:252)

Untuk latar sosial dapat dilihat dari kutipan berikut. “Menjadi pendulang, nelayan bagan, dan kuli pasir
Penduduknya, banyak yang berlindung dalam Flat, yang ada dalam partemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu, jendela, dan tirai tertutup rapat. Memang, istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan jauh lebih nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meskipun sekadar untuk shalat berjamaah di masjid. Panggilan azan Zuhur dari ribuan manara yang bertebaran di seantero kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang benar-benar tebal imannya. Mereka yang memiliki tekad beribadah sesempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca, seperti karang yang tegak berdiri dalam dalam terjangan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari (El Sharazi, 2004:15).

4) Sudut Pandang
Dalam novel Ayat Ayat Cinta ini pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama yang ditandai dengan penggunaan kata aku dalam cerita ini. Hal ini menunjukkan bahwa pengarang menceritakan peristiwa-peristiwa dan persoalan-persoalan yang menyangkut diri pelaku secara lebih jelas. Berikut kutipan yang mewakili pernyataan tersebut. “Aku sedikit ragu mau membuka pintu. Hatiku ketar-ketir. Angin sahara terdengar mendesa-desu. Keras dan kacau. Tak bias dibayangkan betapa kacaunya di luar sana” (El Sharazi, 2004:18)
5) Gaya Bahasa
“Tengah hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah dan pasir seakan menguapkan bau neraka. Hembusan angin sahara disertai debuyang bergulung-gulung menambahpanas udara semakin tinggi dari detik ke detik” (El Sharazi, (2004:15).

“Angin sahara menampar mukaku dengan kasar. Debu bergumpal-gumpal bercampur pasir menari-nari di mna-mana. Kututup kembali pintu apartemen” (El Sharazi, 2004:18).

“Senja musim panas sungguh indah meskipun tetap tidak seindah musim semi. Aku membuka jendela kamar lebar-lebar. Semburat mega kemerahan menghiasai langit. Bau uap pasir masih terasa. Angin bertiup semilir seolah mengahapus hawa panas” (El Sharazi, 2004:111)

“Mobol kami terus melaju. Lampu-lampu telah manyala seperti bintang-bintang. Langit merah bersemburat indah. Mobil melaju di atas jalan laying yang membelah ramsis. Terus ke barat” (El Sharazi, 2004:245).

6) Amanat
Pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui novel ini adalah:
(1) Sebuah perjuangan hidup yang dalam mewujudkan impian dalam meraih cita-cita yang sangat luar biasa.
(2) Selalu berusaha dan bekerja keras jika engkau ingin meraih apa yang kau inginkan;
(3) Selalu sabar dalam menghadapi lika-liku kehidupan serta ikhlas dalam menjalaninya dan jangan pernah putus asa.
(4) Jangan pernah melakukan perbuatan yang dilaknat Allah dan selalu berbuat baik sesame orang yang saling membutuhkan, baik itu muslim dan nonmuslim.
(5) Jika ada yang berbuat jahat, janganlah dibalas dengan kejahatan juga, maka engakau balaslah dengan kebaikan.
(6) jaga akhlak dan budi pekertimu dalam bermasyarakat dimanapun engkau berada.
(7) jadikanlah hidupmu lebih berarti untuk orang lain.
(8) Selalu tidak gegabah dalam mengambil keputusan, harus adil dan bijaksana dalam dalam mengambil keputusan.
(9) Jangan pernah melakukan perbuatan yang tidak baik.
7) Tema
Tema yang disuguhkan dalam novel Ayat Ayat Cinta ini adalah “sesuatu yang diawali dengan usaha yang maksimal, bekerja keras dengan sepenuh hati, dan diiringi dengan doa yang tulus dan ikhlas maka akan membuahkan keberhasilan yang setimpal.”
4. Analisis terhadap Novel Ayat Ayat Cinta
Novel Ayat Ayat Cinta karya Habiburahman El Sharazi mengungkapan kebudayaan masyarakat Mesir ini dapat kita lihat dari kebiasaan, kesopanan atau etika, sistem pengetahuan, sistenm sosial, sistem mata pencarian, dan sistem kepercayaan. Novel ini mengambarkan cerminan kehidupan tokoh yang sangat dramatis yang selalu sabar dalam menghadapi lika-liku kehidupan. Penulis berhasil menggambarkan tokoh utama dalam novel ini yang dikenalkan kepada para pembaca melalui rangkai peristiwa kegiatan sehari-hari tokoh-tokohnya .Dalam melukiskan tokoh-tokohnya, penulis mendeskripsikan tokoh secar langsung .Hal ini dimaksudkan agar pembaca dapat langsung mengenali masing-masing tokoh cerita.
Latar dalam Novel Ayat Ayat Cinta ini mengambil lokasi di kota Mesir. Ini berfungsi mengajak pembaca agar pikiran yang ingin disampaikan oleh pengarang bisa menyentuh pikiran pembaca sehingga ide yang hendak disampaikan pengarang dapat diterima secara rasional oleh pembaca. Dan seolah-olah bias mengetahui gambaran mengenai kota Mesir.
Tema dalam novel ini menggambarkan perjuangan dari tokoh utama dalam novel ini yang begitu gigih dalam menggapai cita-citanya. Kegigihan dan perjuangan untuk meraih mimpi ini memberikan pengetahuan yang luas bagi pembaca sehingga memberikan motivasi yang kuat untuk menghargai segala anugerah dari Sang Pencipta. Walaupun cobaan selalu datang menghampirinya dan diapun tidak pernah mengeluh.
Perwatakan dalam novel ini menggambarkan karakter seorang yang tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan yang telah di anugrahkan. Tokoh utama dalam novel ini menunjukkan semangatnya dalam meraih mimpinya dan memperbaiki kehidupan yang buruk. Penulis mengungkapkan karakter dari setiap tokoh yang mempunyai sifat yang baik nonmuslim Penulis mengungkapkan karakter dari setiap tokoh yang mempunyai sifat yang baik dan menghargai kebudayaan yang ada di daerah sendiri. Berbagai macam masalah yang selalu menghampirinya, namun dia menjalani dan meneriam semua ujian itu dengan lapang dada, dan disertai dengan hati yang ikhlas.

5. Penilaian terhadap Novel Ayat Ayat Cinta
Setelah melakukan analisis terhadap novel Ayat Ayat Cinta karya Habiburahman El Sharazi bahwa novel ini memperlihatkan ide cerita yang menarik. Bentuk perjuangan hidup yang luar biasa dalam menempuh pendidikan. Selalu sabar dalam mendapatkan ujian dan cobaan serta tidak pernah merasa putus asa apalagi samapai merasa pesimis.
Novel ini memberikan gambaran terhadap pemerintah Indonesia yang kurang sigap dalam bertindak menyelesaikan permasalahan baik yang terjadi di dalam maupun luar negeri. Tak hanya system pemerintahan yang disoroti tetapi juga sikap para ulama di Indonesia yang jarang turun tangan langsung membantulangsung sebuah kegiatan melainkan hanya dapat memberikan perintah atau berupa masukan saja, hal ini berseberangan dengan para ulama di Negara Mesir ataupun dinegara lainnya.
Pada intinya, novel Ayat Ayat Cinta ini mampu memberikan suatu pandangan baru kepada kita tentang perjuangan dari tokoh utama dalam novel ini yang begitu gigih dalam menggapai cita-citanya. Kegigihan dan perjuangan untuk meraih mimpi ini memberikan pengetahuan yang luas bagi pembaca sehingga memberikan motivasi yang kuat untuk menghargai segala anugerah dari Sang Pencipta. Walaupun cobaan selalu datang menghampirinya dan diapun tidak pernah mengeluh.

6. Kesimpulan
Melalui hasil proses kritik di atas dapat disimpulkan bahwa Novel Ayat Ayat Cinta ini layak untuk dijadikan bahan bacaan terutama dalam dunia pendidikan. Hal itu dilatar belakangi pemaparan isi novel ini yang banyak memberikan nilai edukatif. Dengan demikian diharapkan dengan membaca ini dapat hidup lebih berarti dan bias menghargai hidup ini lebih baik lagi. Selain itu selalu sabar dalam mengahdapi segala cobaan dan tidak pernah mengeluh dengan keadan apa lagi samapai merasa pesimis dan putus asa. Serta harus bias mengambil keputusan dengan adil dan bijak. Maka dari itu, haruslah semangat dalam menjalani hidup dan meraih impian.

ANDRI IRAWAN FAHRAWI

1 komentar:

  1. Selamat Mlm Sahabat,,,, tulisanya baguus dan terimakasi atas,,, tulisannya,,,, mohoon iziin saya copy,,,, perkenalkan saya juliadi dr Bali

    BalasHapus