Senin, 16 Mei 2011

HATI SEORANG IBU

“HANYA DUA PILIHAN, Nak,“ katanya dengan suara tertahan, “tetap menjadi istrinya kalau kau masih mencintai dan tahan menghadapinya, atau cerai kalau sudah tidak kuat lagi. Sedang kami semua akan menerimamu walau bagaimanapun jua,“ suaranya tersekat di kerongkongan. Telepon digenggamnya erat. Telinganya merapat di situ.

Dan sebelum putrinya bersuara lagi, ia telah pula meneruskan:

“Cerai adalah perbuatan halal walau dibenci Allah, Nak. Sesuatu yang diperbolehkan, demi menjaga manusia dari bencana yang lebih buruk.“

TAPI SERENTAK ITU, dada yang bergemuruh, jantung yang berdebar, membuat tubuhnya terasa lemas. Mata berkunang-kunang. Keringat dingin menyerbu. Pening di kepala langsung menyerang. Gagang telepon semakin erat dicengkeramnya.

“Saya bingung Bu. Khawatir, takut dan cemas,“ suara di telepon terdengar cemas, bingung, kacau dan serak.

“Tapi kau tetap harus memiliki pilihan, Nak,“ katanya.

Nada itu di tekannya kuat-kuat, sekuat tubuh yang di jaga dan ditahannya untuk tidak jatuh. Biar bisa berdiri tegar menerima telepon, dan kabar dari putrinya yang datang tiba-tiba, seperti halilintar menggelegar di terik siang hari.

“Kalau pilih pulang, bagaimana anak-anak, Bu?“ suara putrinya seperti tersedak di tenggorokan. Serak dan parau.

“Pasrahkan kepada Allah, Nak. Tawakal. Allah sebaik-baik pemelihara.“

“Apakah saya mampu Bu, bisa?“

“Semua manusia diuji Nak. Bukan kau saja.“

Suara tangis tersedan putrinya, terdengar lewat telepon.
Hatinya tersayat.

Sejenak, sebagai ibu, jiwanya memberontak.

“Ya Tuhan, kenapa mesti anakku? Bagian hidup yang teramat kusayangi?“ ucapnya lirih.

TANGIS TERSEDAN, kembali sesegukan. Kencang terdengar lewat telepon. Hatinya tergores, lebih tajam dari sayatan pisau. Sakit dan pedih.

Genggaman di telepon semakin kuat dicengkeramnya. Keringat dingin yang menyerbu, merambas ke alat penghubung komunikasi itu. Basah dan licin terasa di telapak dan jari-jari tangannya.

TETAPI TIDAK, ia adalah seorang ibu. Harus kuat, tabah dan bijaksana menghadapi permasalahan. Memberi kekuatan kesabaran dan ketabahan bagi seorang anak, dalam cobaan dan ujian yang menimpanya.

Maka katanya:

“Goda, coba dan uji, adalah hakekat hidup Nak. Ambil hikmahnya. Karena ia tidak selalu buruk buat kita, malah kadang baik. Kita tidak tahu, tapi Allah Maha Mengetahui. Nah berhentilah menangis. Kembali melihat dalam sudut pandang yang baik. Bersifat positiflah. Istighfar.“

Tangisan sedikit mereda. Sesegukan menghilang. Sedan masih tersisa.

“Jadi, apa yang mesti saya lakukan Bu?“ tanya suara dalam telepon lagi. Serak dan parau.

“Semua kembali padamu, Nak. Kau harus bisa mengambil keputusan, tanpa harus bergantung pada Ibu. Hati nuranimu sendiri yang merasa dan memutuskan.“

Putrinya terdiam. Tiada suara terdengar di telepon. Hanya sedan itu saja. Mungkin bingung dan galau. Kacau.
Hingga akhirnya ibunya berkata lagi:

“Kau masih mencintainya, Nak?“
Tangis sedan tertahan pula.
“Iya, Bu,“ jawab putrinya lemah. Menganggukkan kepala.

Ibu itu menarik nafas. Dadanya terasa penuh. Hatinya berseru:

“Ya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tolonglah ia, putriku. Berilah kekuatan ketabahan dan kesabaran padanya,” pintanya tulus. Setulus hati seorang ibu dalam panjatan doa, yang hanya di sampaikan dan dipohonkan kepada Tuhannya semata, bilamana anaknya mengalami kesulitan dan musibah.

Serentak itu mulutnya pun berkomat-kamit membaca puji-pujian kepada Allah., disertai shalawat pada RasulNya Saw..

Ingatannya kembali pada pengakuan putrinya.

Ternyata putriku masih mencintainya. Mengkhawatirkan anak-anaknya. Maka tak ada jalan lain, ia mesti bersabar,“ pikirnya dalam benak.

Maka katanya lagi:

“Tidakkah tadi sudah kukatakan Nak, kedudukan mulia hanyalah bersama Allah? Karena itu bersabarlah. Orang-orang yang sabar, bersama Allah. Kau mau bukan, mendapat kedudukan bersama Allah?”

“Tentu Bu. Aku mau. Aku mau.“

“Nah, hentikanlah tangis dan segukmu itu. Kau sudah akan mulai bersama Allah. Tetaplah dalam sabar. Perkuatlah. Insya Allah akan dibantu. Berjuanglah. Karena orang-orang yang sabar selalu berjuang menahan dan melawan hawa nafsunya. Juga godaan dan bujuk rayu setan,“ ujarnya pula.

Tangis di telepon tak terdengar lagi. Sama sekali terhenti.

(Cuplikan Cerita Pendek: “Ibu”, dari kumpulan Cerita Pendek, Serial Gender,: “Malam Ini Tak Ada Cinta”, Fatma Elly, Establitz, 2006)

__________________________
_____________________________________________

TERLIHAT JELAS, gambaran hati seorang ibu, di dalam melihat permasalahan yang menimpa. Antara hawa nafsu marah atas kejadian terhadap sang putri tersayang, dan kebijaksanaan seorang ibu dalam menanggapi pengaduan anak.

Betapa perih, sedih, sakit, pilu, hati sang ibu mendengar ini, kabar putri yang disayangi, berkelakuan baik dan mencintai suami, ternyata telah di poligami. Sang menantu telah berbagi cinta dengan perempuan lain!

TETAPI, IA ADALAH SEORANG IBU. Hamba Allah yang harus berbakti kepada TuhanNya. Percaya kepada takdir. Menerima, rida, ikhlas, terhadap segala ketentuan dan aturan-Nya. Termasuk permasalahan telah menikahnya sang menantu untuk yang kedua kali. Melakukan poligami, dan membuat putrinya menangis. Mengadukan kesedihan dan penderitaannya.

SATU HAL yang sekarang ini masih ramai dibicarakan orang, diperdebatkan, dipertentangkan, dan bersifat ‘controversial’, adalah masalah poligami.

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS 4:3)

“Dan tidaklah kamu sanggup berlaku adil kepada istri-istrimu sekalipun kamu sangat menghendakinya. Karena itu janganlah kamu miring-semiringnya kepada salah seorang istrimu, sedangkan yang lain kau biarkan ibarat barang tergantung.“ (QS 4:129)

MELIHAT KENYATAAN di atas, ibu itu berfikir:

“Jika menantunya bisa berlaku adil dalam masalah poligami ini, mencontoh RasulNya SAW., ia akan selamat. Namun kalau tidak, menuruti hawa nafsu dan keinginan setan, maka ia akan datang di hari kiamat dengan tubuh yang miring. Dan menanggung akibat dosa”.

Dan ia ingat suatu Hadist. Dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda:

“Barang siapa punya dua istri lalu memberatkan salah satunya, maka ia akan datang di hari kiamat nanti, dengan bahunya miring.“ (HR Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’iy dan Ibnu Majah)

Oleh karena itu, pikir si ibu lagi:

“Jika seseorang lelaki atau menantunya itu, melakukan poligami, sementara persyaratan keadilan tidak bisa dilakukan, dan contoh Rasul SAW. tidak diikuti, akan membawa kesusahan bagi mereka yang melakukannya. Mendatangkan musibah pada istri, anak-anak, keluarga, dan dirinya sendiri sebagai seorang lelaki atau suami.”

Apalagi jika tidak mengenal, tidak mengetahui, dan tidak memahami ajaran agama. Karena nilai keikhlasan seperti pengertian dan kebijakan, tentunya tidak akan hadir di antara mereka.
Dan kalau sudah demikian, bencana akan menganga, bagaikan ular membuka mulut, menerkam dan memagut leher korbannya, dengan kuat dan ganas!

POLIGAMI sendiri, datang bukan tanpa sebab. Ada beberapa kriteria untuk itu.

Ia adalah pembatasan yang dilakukan terhadap kebiasaan dan kelakuan masa dulu. Baik di Timur atapun di Barat. Di mana para lelaki banyak memiliki istri, hingga ratusan, juga selir atau wanita piaraan. Istri tak sah. Bini tak resmi.

LALU ISLAM DATANG, membatasi. Diperbolehkan sampai empat saja. Itupun kalau bisa berlaku adil. Jadi Islam tidak semena-mena memperkenankan poligami.

SEJARAH MENCATAT, banyak terjadi ’peperangan’ yang menyebabkan kaum lelaki tewas terbunuh. Akibatnya banyak janda dan anak yatim. Kaum ibu atau keluarga yang kehilangan tulang punggung perekonomian. Yang terlantar dan menderita kemiskinan. Tidak mendapatkan perlindungan dan kasih sayang, juga pendidikan. Untuk itu, salah satu solusinya adalah menikahi. Agar masalah sosial, ekonomi, pendidikan dan psikologis ini, sedikit banyak bisa teratasi.

KEBUTUHAN AKAN PERNIKAHAN juga merupakan kriteria lainnya. Secara fitrah, manusia membutuhkan itu. Apalagi dalam peperangan banyak lelaki terbunuh, dan perempuan tiada teman pendamping. Mereka membutuhkan suami. Kepala keluarga, untuk memberikan ketenteraman, pengayoman, kasih sayang dan cinta.

SEPERTI SEKARANG INI, antara perempuan dan lelaki, kan tidak sebanding? Perempuan lebih banyak, lelaki sedikit. Tentunya poligami ditolerir demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Baik dari sudut kesehatan badan, jiwa, pikiran, keamanan, ketertiban dan penyelewengan-penyelewengan. Misalnya dekadensi moral. Kejahatan, dan banyak lagi hal lainnya yang bersifat merusak dan mebawa bencana.

TERMASUK PENYEBAB dibolehkannya poligami, juga adanya kebutuhan akan seks dan keturunan. Misal istri sakit, mandul, menstruasi, habis melahirkan, keadaan darurat atau terpaksa lainnya, sedang fitrah diri seorang lelaki menuntut itu.

KWALITAS orang beriman yang bisa menahan gejolak hawa nafsu, termasuk seksual, dengan melakukan puasa, olah raga, kerja, pokoknya macam-macam ibadahlah, patut dipuji. Tapi kondisi orang seperti itu, sedikit sekali. Tidak umum. Dan bukan merupakan tolok ukur.
Sementara yang umum, fitrah seksual mereka tetap menuntut. Tak bisa hilang.

DALAM KONDISI DEMIKIAN, sangatlah sulit bagi individual tertentu, untuk dapat menahannya. Karena tagihan ke arah itu tidak sama pada setiap orang. Maka apabila hukum secara tegas melarang, tidak boleh poligami atau kawin lagi, tidak fleksibel, luwes, alias harus beristri satu, maka dampaknya akan sangat berbahaya.

SEBAB, mereka akan tetap mencari dan mendapatkan. Apalagi bagi lelaki yang tidak terikat iman dan agama, mereka tak lihat dan tak pandang, apakah itu pelacur, perempuan sewaan, sama-sama lelaki, zinah tangan, masturbasi, onani, dan sebagainya.

DAN TERJADILAH seperti apa yang sering kita lihat. Perzinahan, kumpul kebo, prostitusi, free sex, pokoknya macam-macam. Yang akhirnya menimbulkan bencana bagi manusia. Tidak hanya bersifat individual, tapi juga sosial. Baik dilihat dari sudut kesehatan jiwa dan fisik. Jasmani rohani, maupun keamanan dan ketertiban. Kedamaian dan ketenteraman.

Efek dan dampak ini akan berimbas ke mana-mana. Penyakit kelamin, gonorchoe, HIV/AIDS, dekadensi moral, anak-anak haram yang terlantar, perempuan-perempuan yang menderita, pembunuhan dan kekerasan, pokoknya berbagai kejahatan dan kemungkaran, yang akhirnya membawa ketidakdamaian dan ketidaktenteraman masyarakat.

SELAIN ITU, poligami juga diperlukan demi kepentingan umat. Umat yang banyak dan sumber daya manusia yang berkualitas, tentu sangat dibutuhkan.

Berkata Rasulullah SAW.: “Kawinilah olehmu sekalian wanita-wanita yang banyak melahirkan anak dan penuh kecintaan. Karena sesungguhnya aku ingin mempunyai banyak umat dengan kamu sekalian. (HR. Abu Daud, An-Nasa’I dan Al-Hakim)

UMAT YANG BANYAK dan sumber daya manusia yang berkualitas, tentu sangat dibutuhkan. Apalagi Barat dengan PBB, lewat konferensi-konferensi yang diadakannya, melakukan rekayasa demografis melalui penggalakan keluarga berencana di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim.

Dan menurut Anwar Al-Jundi, digencarkannya ketimpangan demografis sebagai ancaman terhadap keamanan dan kesejahteraan dunia, sebuah rekayasa untuk mengurangi pertambahan penduduk kaum muslimin.

DI SATU SISI umat Islam ditekan dan dikendalikan jumlah dan pertambahan penduduknya, sementara di sisi lain mereka melakukan aksi penambahan penduduknya sendiri lewat rangsangan, agar memperbanyak jumlah anak.

Suatu rekayasa yang dilakukan dalam strategi penguasaan terhadap negeri-negeri muslim, yang kalau jumlah penduduknya besar, bakal jadi satu kekuatan yang akan menyulitkan dan membahayakan mereka.

Keluarga dengan satu istri saja masih dibatasi dengan aktifitas politik keluarga berencana, apalagi poligami!

Jadi begitulah, poligami adalah salah satu unsur untuk memperkuat umat Islam.

SELAIN ITU, ISTRI YANG SEJALAN, secita-cita dan sepemikiran, tentunya sangat sekali dibutuhkan dan diutamakan bagi perkembangan dakwah. Di samping menjaga dan melindungi mereka yang aktifitas dakwahnya sangat potensial, tapi kehilangan suami karena meninggaldunia, misalnya. Atau lainnya. Sedang kelancaran dakwah adalah suatu prioritas. Menjalin ukhuwwah, mempererat hubungan di atas strategi dakwah, baik politik, ekonomi, sosial dan sebagainya, adalah hal yang penting dan utama.

Rasulullah SAW. saja misalnya memberikan contoh; ketika beliau menikahi Aisyah ra. dan Hafsah ra., dimaksudkan untuk memperkokoh hubungan ukhuwwah di antara tokoh-tokoh Abu Bakar Siddiq. dan Umar bin Khathab., yang merupakan ayah dari ummul mukminin tersebut.

Begitu pula ketika menikahi Ummu Salamah Al-Makhzumiyah, putri pemimpin Bani Makhzum yang ikut hijrah ke Habasyah dan Madinah dan suaminya syahid; apakah setelah mempertaruhkan dirinya untuk Islam, lalu ia dibiarkan saja menjanda sendirian? Tentunya tidak bukan? Ia butuh perlindungan dan pendamping.

Begitupun ketika beliau menikahi Ramlah. Selain untuk menjaga dan memelihara keimanan dan diri Ramlah, karena suaminya murtad dan mati dalam keadaan kafir, juga untuk memberi ‘kesan tersendiri dalam jiwa Abu Sufyan’, musuh besarnya yang notabene adalah ayahnya Romlah.

Begitupula ketika mengawini Juwairiyah binti Al-Harits, putri pemimpin kaumnya yang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan Arab, hal yang sama dilakukan Rasul.

Dan ketika mengawini Shafiyah binti Huyai bin Akhtab, putri penguasa Yahudi yang suaminya meninggal, selain untuk kepentingan politik, juga untuk contoh memuliakan suatu kaum. Sekaligus kasih sayang, dan jangan sampai dendam oleh kematian saudara dan ayahnya itu.

POKOKNYA, SETIAP PERKAWINAN yang dilakukan Rasulullah SAW., mengandung maslahat dan hikmah serta misi kemanusiaan yang tinggi.

JADI, bila hukum secara tegas melarang poligami, masyarakat akan rugi dan susah. Termasuk terhadap perempuan juga. Apakah gadis, istri, ibu, saudara, yah semua akan mendapat imbas dampaknya yang buruk dan merusak.

KADANGKALA PEREMPUAN suka iri dan menyanggah, dalam hal poligami ini dan bertanya:

”Bagaimana jika perempuan, yang mempunyai keinginan dan selera yang sama dalam masalah seksual, sebagaimana manusia lelaki pada laiknya, lalu diberi status hukum, dengan legalisasi berpoliandri atau bersuami lebih dari satu, apakah kira-kira kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya?

ZAMAN PURBAKALA, poliandri pernah terjadi. Perempuan bersuami lebih dari satu. Ternyata masyarakat dan keadaan menjadi runyam dan kacau. Anak diragukan bapaknya. Bingung menentukan hak waris. Keributan, perkelahian, bahkan pembunuhan sering terjadi. Baik karena faktor kecemburuan, curiga, prasangka, egois, keserakahan ataupun harga dan kehormatan diri.

”Kedua hal tersebut, poligami dan poliandri, mempunyai dampak dan imbas yang sama. Seperti sekarang, apakah poligami menjamin ketenangan dan ketentraman? Keadilan dan kebahagiaan?” Orang suka bertanya. Apalagi perempuan barangkali.

KALAU KITA HANYA bercermin pada kehidupan masa kini, di mana penyimpangan dan penyelewengan terhadap nilai-nilai dan ajaran Islam, banyak terjadi, orang tidak memperaktekkan ajaran agama secara baik dan benar, apa yang digambarkan itu, memang suatu realitas yang tidak bisa dipungkiri.

NAMUN, satu hal yang harus diingat, bila ajaran, peraturan, atau perintah Allah itu dilaksanakan dan dilakukan hamba-Nya, dengan ketaatan mencontoh Rasul-Nya SAW., maka hal-hal seperti itu tak akan terjadi. Malah kedamaian dan ketenteramanlah yang mengejawantah.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS 2:208)

DAN LAGI, satu hal yang harus kita cermati, berlaku adil sebagai persyaratan poligami, bukanlah hal yang mudah.

Jika seseorang ingin berpoligami, tidak boleh seenaknya saja. Islam agama preventif. Mencegah dan mengantisipasi suatu keadaan yang tidak diinginkan, yang mungkin saja membahayakan. Poligami, salah satu cara untuk itu. Bentuk tindakan preventif bilamana menemukan hal-hal yang seperti itu.

Sementara, kalau perempuan diberi legalisasi seperti lelaki, dengan melakukan poliandri misalnya, tentu dampaknya lebih membahayakan dan mengacaukan. Ketimbang ketenteraman yang dituju dan diinginkan untuk masyarakat umum.

Maka legalisasi semacam itu, tak ada di dalam Islam. Sedang hak-hak perempuan, Islam mengaturnya dalam bentuk aturan-aturan. Kewajiban terhadap istri tetap harus dilakukan. Tanggung jawab sebagai seorang suami dalam masalah nafkah lahir batin, harus diperhatikan. Tidak gegabah begitu saja. Ada sanksinya. Dan kalau sekiranya mereka masih melanggarnya, ada hak talak bagi perempuan.

Ia bisa bercerai untuk mendapatkan kebebasan dan kebahagiaannya. Walau cerai itu perbuatan halal yang dibenci Allah. Makanya, segala fenomena atau gejala permasalahan harus benar-benar diantisipasi sebelumnya. Harus ada pemahaman, pengertian, kesadaran dan keikhlasan. Yang terpenting; bagaimana seseorang itu harus memurnikan ketaatan kepada-Nya, di dalam mengikuti perintah Allah dan beragama.

”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan agama dengan lurus), dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS 98:5)

CERITA PENDEK di atas, meski menggambarkan, betapa hati si ibu merasa sedih, pedih dan pilu, melihat dan mengetahui putrinya yang baik itu di poligami, namun ia sebagai ibu yang bijak, tetap menasihati. Supaya putrinya tetap bersabar. Bahkan memperkuat kesabarannya sebagaimana yang telah Allah firmankan:

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersikap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS 3:200)


PATUT DAN LAYAK serta pantaslah, kalau seorang sahabat bertanya:

“Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak memproleh pelayanan dan persahabatanku? Nabi SAW. menjawab: “Ibumu.. ibumu.. ibumu, kemudian ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu.“ (HR Mutaffak ‘Alaih)

TERNYATA, ibu memang luar biasa! Ditinggikan martabatnya karena kemuliaan kedudukannya. Hingga ia diberi kehormatan, tiga kali melebihi sang ayah!

Dan bersabdalah Rasul SAW.: ”Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu.“ (HR. Ahmad)

MEMANG, HATI SEORANG IBU, BAK MUTIARA yang tak pernah pudar dari keaslian hakikat yang dimilikinya, yang akan selalu memancarkan perhatian dan kasih sayang terhadap anak-anaknya, sepanjang masa!


WALLAHU A’LAM.

(andrea fahrawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar