Jumat, 10 Juni 2011

PENGGUNAAN MAJAS IRONI DALAM PERCAKAPAN BAHASA RANAU MASYARAKAT DESA SURABAYA KECAMATAN BANDING AGUNG KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN

1. Latar Belakang
Percakapan merupakan salah satu kegiatan bahasa yang melibatkan partisipan. Dalam percakapan, proses komunikasi terjadi apabila ada dua partisipan, yaitu pembicara dan pendengar. Hal ini senada dengan pendapat Ismari (1995:3) yang menyatakan bahwa percakapan adalah interaksi oral dengan bertatap muka antara dua partisipan atau lebih. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa di dalam percakapan terjadi pertukaran informasi antara pembicara dan pendengar.
Percakapan bukan hanya sekedar pertukaran informasi. Oleh sebab itu, jika seseorang mengambil bagian di dalam percakapan, maka mereka masuk ke dalam proses percakapan tersebut sehingga cara-cara dan tujuan mengenai isi percakapan serta bagaimana informasi di sampaikan berpengaruh dalam penginterpretasian percakapan.
Dalam suatu percakapan, agar informasi bisa diterima, biasanya pembicara menyampaikan informasi itu secara langsung dengan menggunakan bahasa yang tepat. Selain untuk menyamapaikan informasi, percakapan kadang-kadang dilakukan untuk menyindir, memuji, mencaci, bahkan memancing emosi lawan tutur. Namun, tanpa disadari penyampaian informasi dengan tujuan seperti itu menjadikan informasi tersebut tersembunyi. Hal inilah yang menyebabkan antara penutur dan dan lawan tutur akan memiliki pemaknaan yang berbeda. Misalnya, karena kesal dengan teman yang berjanji datang tepat waktu, tetapi justru datang terlambat. Biasanya ujaran keluar “Cepat sekali datang, sudah lama aku menunggu”. Pada contoh tersebut, terlihat ada makna lain dari ujaran yang dilakukan penutur. Penutur melakukan sindiran terhadap temannya yeng terlambat, dengan mengatakan bahwa temanya cepat sekali datang.
Ilustrasi di atas merupakan pengunaan bentuk majas ironi. Majas ironi adalah suatu acuan yang ingin menyatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya (Keraf, 1991:143). Untuk menyatakan sesuatu dengan makna atau maksud yang berlainan, seorang penutur dan lawan tutur harus mempunyai asumsi yang sama sehingga penggunaan majas ironi dapat dipahami. Sebagai contoh, perhatikan percakapan yang dilakukan oleh dua orang penutur bahasa Ranau, Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan.
A: Nambah gemuk gawoh injukni kantik negham sai ji ? ‘Tambah gendut saja sepertinya teman kita satu ini?’.
B: Temon nihan ana. ‘Sepertinya benar sekali’
C: Ya, tapi mawek gemuk nihan kan? ‘Iya, tapi tidak terlalu gemuk kan?’.
A: Mawek, ke dikughusi cutek. “Tidak, kalau dikurusi sedikit’.
C: Ai… tuk keti ghua ji ! ‘Ai.., kentut kamu duo?
Kalimat A merupakan bentuk majas ironi yang digunakan untuk menyatakan ukuran berat badan lawan tutur, ironi disamapaikan dengan menyatakan antonim dari ironi yang dilakukan yaitu anatar gemuk dan kurus.
Jika dilihat pada contoh percakapan di atas, antara penutur A, penutur B dan penutur C sudah saling mengenal, sehingga C sudah tahu bahwa penutur A dan Penutur B melakukan sindiran terhadap tubuh C yang sangat kurus. Dalam percakapan kadang-kadang tidak diketahui ada unsur sindiran. Hal ini disebabkan penutur dan lawan tutur tidak memiliki asumsi yang sama, atau tidak mengetahui secara pasti informasi yang disampaikan lawan tutur. Perhatikan percakapan berikut ini yang dilakukan oleh dua orang pemuda masyarakat desa Surabaya yang baru saja bertemu. Pada saat itu seorang pemuda yang baru pulang dari bekerja di luar daerah dan pada saat ia berjalan dan tidak sengaja bertemu dengan temannya yang lagi duduk di ujung jalan sendirian dekat pangkalan ojek.
A: Api kabagh puaghi ? ‘Apa kabar keponakan?’
B: Alhamdulillah sihat, kapan sampai dija ?. ‘Alhamdulilah Sihat, kapan kamu datang kesini?’
A: Nambi nyak ku samapai dija. Ai… alangke injuk hemat ni, adu ningkat juga cak ni taghik’an no. ghukuk adu Sampoerna Mild. ‘Kemarin aku samapai disisni. hemat sekali kamu, sudah ningkat kayaknya tarikan. Rokok saja Sampoerna Mild’.
B: Nayya… ghukuk Inji senangundo hemat. ‘Iya… rokok ini memang hemat’.
A: Kemayangan ke gheno kidah ni puaghi…? ‘Syukurlah kalau seperti itu keponakan….?’.
Pada kalimat A ujaran tersebut merupakan majas ironi. Ujaran Ai… alangke injuk hemat ni, adu ningkat juga cak ni taghik’an no. ghukuk adu Sampoerna Mild. ‘hemat sekali kamu, sudah ningkat kayaknya tarikan. Rokok saja Sampoerna Mild’. Menggambarkan bahwa rokok yang dihisap oleh B merupakan jenis rokok yang sangat mahal, tetapi A mengatakan sebaliknya sehinga B menanggapi ujaran Adengan berlawanan. B mengira kalau A melakukan pujian bahwa B orang yang hemat.
Dari kedua contoh percakapan masyarakat desa Surabaya tersebut, terdapat perbedaan antara percakapan satu dan percakapan dua. Pada contoh satu, A, B, dan C sudah saling kenal dan C memiliki asumsi atau makna yang sama dengan A dan B. Sedangkan pada contoh kedua A dan B sudah saling kenal, tetapi B memiliki asumsi atau makna yang berlainan dengan A.
Di dalam komunikasi, seorang penutur melakukan ujaran dengan maksud untuk menyampaikan sesuatu kepada lawan tuturnya dan berharap lawan tuturnya memahami apa yang hendak disampaikan. Pemahaman seseorang terhadap sebuah ujaran tidak cukup dengan mengetahui gramatikal dan leksikalnya saja. Kedua unsur itu hanya sebagian dari faktor-faktor yang menentukan maksud sebuah ujaran. Maksud sebuah ujaran tidak akan kita ketahui tanpa mengetahui siapa penutur dan lawan tuturnya, apa topiknya, waktu dan tempat, apa maksudnya, bentuk ujarannya, nada dan cara penyamapaiannya, alat bahasa yang digunakan, norma/aturan, dan bagaimana jenis penyampaiannya. Sehubungan dengan hal itu, Hymes yang dikutip Chaer dan Agustina (1995:62) merangkainya menjadi teori SPEAKING yang terdiri dari delapan komponen.
Untuk melihat kedelapan komponen tersebut, sebagai contoh perhatian percakapan yang dilakukan oleh dua orang penutur bahasa ranau di lingkungan masyarakat Desa Surabaya tepatnya di pasar.
A: Huy… Sity, injukni lagak nihan! Debah datas Warna-warni, api bangik ngeliakni. ‘Hai… sity, sepertinyo keren! Atas bawah warna-warni, apa enak dilihat?’
B: mawek api wo, sekali-kali. ‘Tidak apa kak, sekali-sekali’.
Ujaran injukni kagak nihan! Debah datas Warna-warni, api bangik ngeliakni, merupakan penggunaan ironi yang dilakukan penutur A terhadap pakaian penutur B. tempat percakapan itu terjadi di pasar pada saat mereka bertemu dsedang berbelanja beli sayuran, penutur dan lawan tutur adalah dua adik kakak yaitu salah satu penutur bahasa ranau penduduk desa surabaya. Namun, karena mereka sudah berkeluarga jadi mereka tidak tinggal satu rumah lagi, tujuan menyampaikan ketidakcocokan perpaduan warna pakaian yang dikenakan adiknya, cara penyampaiannya dengan bermain, alat bahasa yang digunakan secara lisan, aturan yang digunakannya dengan bertanya, dan jenis penyampaian secara persuasif. Dari analisis tersebut, ujaran itu beriri sindiran yang dilakukan seorang kakak terhadap adiknya yang sama-sama sudah punya keluarga, dengan cara bertanya mengenai perpaduan warna pakaian yang dikenakan adiknya.
Dari contoh di atas terlihat hal-hal yang unik dan menarik dalam suatu percakapan karena penutur dan lawan tutur dalam dalam menyampaiakan maksudnya tidak hanya secara langsung, tetapi secra tidak langsung. Misalnya, denan majs ironi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang pengguanan majas ironi ini dalam percakapan dengan memanfaatkan kajian wacana.
Penelitian tentang majas dan percakapan sudah pernah dilakukan oleh beberapa mahasiswa. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Wiwit Purika (2003) dengan skripsi yang berjudul “Penggunaan Prinsifp Kerjasama Dalam percakapan mahasiswa FKIP Unsri”, sedangkan Wiji Winarni (2003) yang berjudul “Gaya Bahasa K.H. Zainudin MZ dalam ceramah” dan penelitian selanjutnya dilakukan oleh Leni Marlenah (2005) yang berjudul “Penggunan Majas Ironi dalam Percakapan Mahasiswa FKIP UNSRI”.
Beranjak dari penelitian sebelumnya, penelitian kali ini mengkaji bagaimana penggunan majas ironi dalam percakapan dan mengapa ironi itu digunakan. Jika dalam penelitian majas sebelumnya mengambil datanya dari percakapan yang dilakukan mahasiswa FKIP Unsri artinya yang menjadi objek penelitian majas ironi sebelumnya adalah sekumpulan orang-orang yang berpendidikan dan tentunya penggunaan majas ironi ini akan berbeda dalam penggunaannya di masyarakat karena dalam masyarakat itu merupakan sekumpulan dari berbagai macam latar belakang yang berbeda dan tidak semua masyarakat itu mengenyam pendidikan. Penelitian majas ironi kali ini, percakapan yang digunakan masyarakat desa Surabaya dalam Bahasa Ranau. Oleh sebab itu, alasan peneliti ingin mengambil majas ironi karena ironi merupakan sindiran yang mengingkari maksud yang sederhana, memungkinkan seorang pembicara menjadi tidak sopan, tetapi kelihatan seolah-olah sopan dan pembicara hanya mengatakan kebalikan kebenaran dari sesuatu yang dinyatakan.
Alasan lain, peneliti meneliti penggunaan majas ironi dalam percakapan Bahasa Ranau Masyarakat Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Oku Selatan karena latar belakang peneliti juga merupakan penutur asli bahasa Ranau bahwa sering kali dijumpai dalam percakpan yang sering dilakukan oleh penutur bahsa ranau terdapat majas. Selain itu, bahasa juga merupakan hasil kebudayaan yang patut dilestarikan. Masinambouw yang dikutip Chaer dan Agustina (1995: 217-218) mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang “melekat” pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
2. Masalah
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini ialah
1) Bagaimana penggunaan majas ironi dalam percakapan Bahasa Ranau Masyarakat Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Oku Selatan?
2) Mengapa majas ironi digunakan dalam percakapan antarpenutur Bahasa Ranau Masyarakat Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan?
3. Tujuan
Tujuan penelitian ini mendeskrifsikan secara objektif penggunaan majas ironi serta alasan majas ironi digunakan dalam percakapan antarpenutur Bahasa Ranau Masyarakat Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan.
4. Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharafkan bermanfaat baik dari segi teoritis, praktis. Secara teoritis bermanfaat sebagi sumbangan dalam penerapan kajian bidang bahasa, khususnya dari segi semnatik dan wacana. Secara prakatis dapat dimanfaatkan oleh guru dalam memberikan pelajaran, khusunya mengenai majas ironi, memberikan gambaran kepada siswa khusunya dalam mata pelajaran Bahsa Indonesia untuk menggunakan majas ironi dalam sebuah percakapan.
5. Tinjauan Pustaka
5.1 Pengertian Majas
Memahami individu melalui percakapan bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, bila mengetahui maksud dan tujuan penutur, percakapan akan seiring dengan maksud. Untuk mencapai maksud yang dituju seorang penutur menggunakan beberapa cara, salah satunya menggunakan bahsa yang indah, kata-kata yang manis atau yang lebih dikenal dengan majas. Menurut Tarigan dkk (1991:520) majs adalah bahasa yang indah yang dipergunakan secara imajinatif, bukan makna alamiah saja, untuk meninggikan dan meningkatkan efek tertentu sehingga menimbulkan konotasi tertentu. Senada dengan pendapat yang dikemukakan Dale dalam Tarigan (1986:176) menyatakan bahwamajs sebagai bahasa yang indah dipergunakan untuk meningkatkan efek yang memperkenalkan, membandingkan, suatu benda/hal tertentu dengan benda yang lebih umum.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai beraneka macam majas. Majas lebih sering dikenal sebagai cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk lisan. Dari pendapat diatas dapat disimpulakan bahwa majs adalah bahasa yang khas dengan pola tertentu yang digunakan pengarang/pembicara sehingga memiliki efek bagi pembaca atau lawan bicara. Tarigan (1985: 6) membagi majas menjadi empat kelompok, yaitu majas perbandingan, majsas pertentangan, majas pertautan, dan majas perulangan. Mengingat yang diteliti lebih difokuskan pada majas ironi yang merupakan jenis majas pertentangan serta penggunaannya dalam percakapan, jadi peneliti membahas pengunaan majas ironi dalam percakapan.
5.2 Majas Ironi
Majas ironi merupakan jenis majas pertentangan. Menurut Keraf (1991: 143) mengatakan, “ironi adalah suatu acuan yang ingin menyatakan sesuatu dengan makna berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Maksud berlainan dalam rangkaian kata-kata kadang kala tidak diketahui lawan tutur, sehingga muncul makna bertentangan yang ditangkap lawan tutur, sehingga muncul makna bertentangan yang ditangkapa lawan tutur dari penutur”. Hal ini senada dengan pendapat Tarigan (1985: 61) yang menyatakan, “Ironi adalah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud mengolok-olok”. Suharianto (1982:79) mengatakan, “Ironi adalah suatu cara menyindir dengan mengatakan sebaliknya”. Dari pendapat itulah dapat disimpulkan bahwa majas ironi adalah majas yang mengandung sindiran halus, mengolok-olok, dan yang menyatakan maksud yang berlainan dari hal yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya atau bertentangan.
Kata-kata dalam majas ironi dipergunakan untuk mengingkari maksud yang sebenarnya. Maksud itu dapat dicapai dengan mengemukakan maksud yang berlawanan dengan maksud yang sebenarnya. Oleh sebab itu, ironi akan dipahami kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan. Perhatiakan majs ironi berikut ini :
1) Kecahni lambanmu ji, lantai ni gilap ghik latap rumbah-rambeh.
‘Bersih sekali rumahmu ini, lantainya licin dan penuh dekorasi’.
2) Nyak ku peghcaya nihan lawan niku, mawek peghnah janjimu niku tepati.
‘Saya percaya sekali sama kamu, tidak pernah janjimu kau tepati’.
Jika diamati, penggunaan majas ironi pada contoh di atas ditandai oleh pernyataan yang di lebih-lebihkan atau keternagn yang mengecilkan suatu persoalan, yang membuat sukar bagi lawan tutur menginterpretasikan ucapan tersebut dengan nilai yang sebenarnya. Pada contoh pertama, “kecahni lambanmu ji” menyatakan bahwa rumanya tersebut bukan bersih melainkan rumah yang kotor, lantainya banyak debu dan penuh dengan sangkar laba-laba. Begitu juga dengan contoh yang kedua, penutur mengatakan percaya kepada lawan tutur, tetapi penutur menghianati dengan mengingkari janji kepada penutur.
Melihat contoh di atas, penggunan ironi memiliki cirri khas lewat pengecilan arti. Pengecilan arti ialah penutur mengemukakan sebuah pendapat yang jauh lebih lemah daripada yang sebetulnya dibuat (menggunakan penyangkalan). Untuk itu ada semacam kekuatan (daya) yang muncul dalam penggunaan ironi.
Menurut Leech (1993:227) ironi sangat beragam. Ada dua hal yang menonjol pada pengunaan ironi yang dilakukan penutur, yaitu majas ironi yang menggelikan/ironi komik, dan ironi yang menyinggung perasaan/menyayat hati yang berupa perintah sarkastis.
Ironi tidak fungsional dalam menetapkan cara berbuat menyinggung perasaan pada orang lain, tetapi ironi dapat saja mempunyai suatu fungsi positif, yaitu melalui ironi sikap-sikap agresif dapat tersalurkan dalam bentuk verbal yang kurang berbahaya seperti kritikan langsung, penghinaan, ancaman, dan sebagainya. Ironi suatu ucapan tidak mudah menjawab, seperti bentuk cacian yang secra mudah memancing cacian balasan. Hal ini dikarenakan didalam ironi tergabung seni menyerang dengan sikap tidak bersalah yang merupakan suatu bentuk pembelaan diri.
5.3 Konteks dalam Percakapan
Dalam peristiwa percakapan, selalu terdapat faktor-faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa itu seperti penutur, lawan tutur, pokok pembicara dan tempat bicara. Hymes yang dikutip Chaer dan Agustina (1995:99) mengemukakan faktor-faktor tersebut yang menandai terjadinya peristiwa percakapan atau lebih dikenal dengan SPEAKING yang berisi delapan komponen, yaitu:
S: Setting an Scene (tempat dan waktu)
P: Partisipant (penutur dan lawan tutur)
E: Ends (maksud dan tujuan ujaran)
A: Act (bentuk ujaran)
K: Key (nada atau cara penyampaian)
I : Instrumen (alat bahasa yang diguanakan)
N: Norms (norma /aturan)
G: Genre (jenis penyampaian)
Untuk memperjelas dan memperlihatkan pentingnya faktor-faktor SPEAKING dalam percakapan, Hymes dalam Chaer dan Agustina (1995:62) mengemukakan kedelapan komponen tersebut sebagai berikut.
1) Setting an Scene
Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tuturan berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu. Waktu, tempat situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahsa yang berbeda. Misalnya, berbicara di lapangan sepakbola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan didalam masjid pada waktu banyak orang shalat dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepakbola bias berbicara keras-keras, tetapi di dalam masjid harus seperlahan mungkin.
2) Partisipant
Partisipant adalah pihak-pihak yang terlibat dalam percakapan, bisa penutur dan lawan tutur. Dua orang yang bercakap-cakap dapat bergantian peran sebagai penutur dan lawan tutur. Status participant sangat menentukan ragam bahasa yang diguanakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam/gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan kalau dia berbicara dengan teman sebayanya.
3) Ends
Ends, menunjuk pada maksud dan tujuan percakapan. Misalnya, jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Atau peristiwa tutur di kantor kepala desa, seorang seketaris desa yang cakep pada saat melakukan penyuluhan tentang pentingnya pembuatan kartu keluarga, namun barangkali dianatara warga desa tersebut terutaa yang perempuannya ada yang datang hanya memandang ketampana wajah seketaris desa itu.
4) Act
Act, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topil pembicaraan. Misalnya, ujaran yang diguanakan perangkat desa ketika sedang rapat, semua warga mengunakan ujaran yang baku (Bahasa Indonesia), Karena situasi tersebut formal.
5) Key
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat saat suatu pesan disampaikan dengan senang hati, serius, singkat, sombong, mengejek dan sebagainya. Hal ini juga dapat ditunjukan gerak tubuh dan isyarat. Misalnya, misalnya salah seorang penutur bahasa ranau yang sombong akan berbicara dengan lawan tuturnya menggunakan nada suara yang tinggi dan keras.
6) Instrumen
Instrumen,mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur bahasa lisan, tertulis, dan lain-lain. Instrumen ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek ragam, dan lain-lain. Mislakan, karena kesal dengan temannya dan sudah bersikap kasar, sorang penutur bahsa ranau menulis surat untuk menyatakan maaf.
7) Norms
Norms, mengacu pa
da norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan pada saat lawan tutur ingin memotong pembicaraan dari penutur. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran lawan tutur.
8) Genre
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti naratif, puisi, doa, dan sebagainya.
6. Metodologi Penelitian
6.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan dengan pertimbangan bhawa cara dan tujuan penelitian ini mendeskripsikan majs ironi dalam percakapan Bahasa Ranau Masyarakat Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Oku Selatan.
“metode deskriptif adalah metode yang berupaya memecahkan dan menjawab permasalahan yang dihadapi dengan cara mengumpulkan data, mengolah data dan membuat kesimpulan serta laporan” (Ali, 1987:120). Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini berusaha mengumpulkan data, yaitu ujran-ujaran dalam percakapan Bahasa Ranau Masyarakat Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Oku Selatan yang mengandung majas ironi, kemudian mengolah data tersebut dengan cara menganalisis data menggunakan teknik pilah unsur penentu yaitu daya pilah pragmatis pada kode padan, kemudian membuat kesimpulan dan laporan dari hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian.
6.2 Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah ujaran-ujaran yang terjadi antara pelibat wacana dalam percakapan. Sumber data diperoleh dari para pelibat wacana yaitu penutur Bahasa Ranau Masyarakat Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Oku Selatan.
6.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung. Teknik observasi langsung adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat dimana peristiwa, keadaan, situasi sedang terjadi.
Teknik-teknik yang dilakukan sebagai berikut
1) Pengamatan dan Pencatatan
Pengamatan dan pencatatan dilakukan secara langsung pada saat terjadinya percakapan antara penutur dan lawan tutur Bahasa Ranau Masyarakat Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Oku Selatan selama satu bulan dengan frekuensi pengamatan dan pencatatan dilakukan 3 kali satu minggu mulai 1 juni samapai 31 juli 2011 dalam waktu 60 menit setiap kali pengamatan dan pencatatan. Pengamatan dan pencatatan berlangsung pada situasi tidak formal pada saat penutur bahasa ranau tidak melakukan kegiatan sperti berladang, nelayan dan lagi bekerja di kantor desa atau pada waktu istirahat. Hal-hal yang diamati meliputi tempat dan waktu, penutur dan lawan tutur, maksud dan tujuan, bentuk ujaran, nada dan cara penyampaian, topic pembicaraan, dan jenis penyampaian.
2) Wawancara
Wawancara adalah suatu dialog yang dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi
(Arikunto, 1999:27). Wawancara untuk memancing ujaran informasi dengan seperangkat terjemahan. Perangkat terjemahan ini berisi kata-kata dan kalimat-kalimat berupa majs ironi.
3) Perekaman
Perekaman dilakukan dengan menggunakan Tape Recorder. Perekaman dilakukan bersama dengan pengamatan. Teknik yang digunakan, yaitu teknik sadap rekam tanpa diketahui oleh para subjek. Perekaman dilakukan secara langsung pada saat terjadinya percakapan Bahasa Ranau Masyarakat Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Oku Selatan selama satu bulan dengan frekuensi perekaman dilakukan 3 kali satu minggu mulai 1 juni samapai 31 juli 201. Perekaman dilakukan pada saat situasi tidak formal artinya pada waktu sedang istirahat.
6.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik pilihan unsur penentu dengan daya pilah pragmatis yang terdapat pada metode padan, yaitu teknik membagi satuan lingual berdasarkan konteks pragmatik (Sudaryanto, 1993:21-22). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual berupa satuan wacana yang mengandung majas ironi.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan prosedur sebagai berikut.
1) Merekam data yang berupa percakapan dengan Tape Recorder
2) Memindahkan data rekaman ke bentuk teks tertulis
3) Mengidentifikasi dan menginterpretasikan data. Setelah data berbentuk teks tertulis, selanjutnya diidentifikasikan ujaran-ujaran yang mengandung majas ironi. Oleh Karena itu, ujaran tersebut harus diinterpretasikan terlebih dahulu dengan metode padan dengan daya pilah pragmatik. Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual berdasarkan jenis-jenis majas ironi. Dasar penentunya adalah ironi yang menggelikan dan ironi yang menyinggung perasan. Dasar alasan pembagian tersebut dengan melihat konteks yang dapat menunjukkan tujuan atau arah dari ujaran tersebut, karena kalimat yang sama dapat menghasilkan makna yang berbeda dalam lingkungan kontekstual yang berlainan. Setelah mengetahui tujuan dan arahan dari ujaran tersebut maka ujaran itu dibagi berdasarkan jenis penyamapaian.
4) Menganalisis ujaran-ujaran yang mengandung majas ironi, menggunakan teori SPEAKING sesuai dengan tujuan penelitian.
5) Menetukan maksudujaran yang mengandung majas ironi. dengan melihat Ends Idan Key pada analisis SPEAKIN.
6) Membuat kesimpulan
Contoh analaisis data:
1. ironi yang Menggelikan
Dalam percakapan masyarakat penutur bahasa Ranau ditemukan ujaran-ujaran yang menggelikan. Selain menyampaikan sindiran, tujuan ironi dilakukan untuk bermain/berkelakar. Berikut adalah contoh percakapan yang ironi menggelikan.
(1) Percakapan berikut terjadi di warung manisan yang lokasinya disekitar wilayah desa Surabaya, pada pagi hari saat berbelanja. Terlihat salah seorang warga sedang mencari keponakannya, lalu ia mendekati warung manisan tersebut, (Data 6 Juni 2011).
Belva : Ngeliak Jum mawek niku wo? ‘Melihat Jum tidak kak?’
Evi : Jum se sepa? ‘Jum yang mana?’
Belva : Se langgagh, handak, sikop. ‘Yang tinggi, putih, cantik’
Rosa : Sehedi ya Bel se manis ke makai kacamata galak nekham cawako injuk Omas. ‘Itu Bel yang manis memakai kacamata yang kita bicarakan seperti Omas.
Evi : Ha…ha..mit dudi dek. ‘Ha…ha..kesana dek’
S (Setting and scene) Percakapan terjadi di warung manisan salah satu warga desa Surabaya, pukul 08.15 wib
P (Participant) Tiga orang penutur bahasa ranau (perempuan), warga masyarakat desa Surabaya
E (Ends) Menjelaskan dan menyindir temannya yang jelek
A (Act) Bahasa daerah (dialek Ranau)
K (Key) Nada serius dan mengejek sambil tertawa
I (Instrument) Lisan
N (Norm) Tanya jawab
G (Genre) Percakapan

Pada percakapan di atas, ujaran sehedi ya Bel se manis ke makai kacamata galak nekham cawako injuk Omas. ‘Itu Bel yang manis memakai kacamata yang kita bicarakan seperti Omas merupakan ironi yang diujarkan Rosa. Rosa memberikan gambaran kepada Evi mengenai teman Belva yang bernama Jum. Rosa menjelaskan kalau orang yang bernama Jum itu manis, memakai kacamata, dan seperti Omas. Mendengar ujaran Rosa yang mengungkapkan Dewi Persik, Evi langsung ingat kalau yang bernama Jum itu bukan manis dan cantik seperti yang diungkapkan Belva dan Rosa, tapi jelek seprti Omas.
(2) Percakapan yang terjadi di salah satu rumah warga desa Surabaya. seorang perempuan menyapa tetangga sebelah rumahnya lagi kebersihan, (Data 8 Juni 2011).
Natun : Ai, injukni kebersihan. ‘Hai, sepertinya kebersihan’
Lekat : Iya. ‘Iya’
Natun : Ana adu kecah, ngapi ampai dikecahko? ‘kan sudah bersih, mengapa baru dibersihkan?’
Lekat : Maghini tulungi. ‘makanya bantu’
Natun : Iyu, tapi nyak ku nulung makai du’a gawoh. ‘Iya, tetapi saya bantu dengan doa’
S (Setting and scene) Percakapan terjadi di rumah salah satu warga desa Surabaya, pukul 07.30 wib
P (Participant) dua orang penutur bahasa ranau (perempuan), warga masyarakat desa Surabaya
E (Ends) Menjelaskan keadaan temannya yang sednag kebersihan
A (Act) Bahasa daerah (dialek Ranau)
K (Key) Nada sinis dan mengejek sambil tertawa
I (Instrument) Lisan
N (Norm) Tanya jawab
G (Genre) Percakapan

Pada percakapan di atas, ujaran Ana adu kecah, ngapi ampai dikecahko? ‘kan sudah bersih, mengapa baru dibersihkan?’ merupakan ironi yang diujarkan Natun. Natun menyindir Lekat yang sedang melakukan kebersihan. Natun berpura-pura memuji kalau selama ini halam rumahnya tersebut sudah bersih, padahal bukan bersih melainkan kotor. Lekat merespon sindiran tersebut dengan senyuman dan meminta Natun untuk turut serta membantunya, tetapi Natun langsung berujar dengan tertawa kalau dia akan membanu dengan doa.
2. Ironi yang Menyinggung Perasaan
Dalam percakapan masyarakat desa Surabaya yang menggunakan dialeg Ranau ditemukan ujaran-ujaran yang menyinggung perasaan. Selain menyampaikan sindiran menggelikan, ironi yang digunakan juga mengandung sindiran yang menyinggung perasaan. Berikut ini adalah contoh percakapan yang mengandung ironi yang menyinggung perasaan.
(1) Percakapan berikut terjadi di persimpangan jalan desa Surabaya. Seorang warga desa Surabaya mendatangi temannya yang sedang menuggu, (Data 10 Juni 2011).
Yogi : Jak ipa? ‘Dari mana?’
Anja : Jak lamban, adu saka kudo. ‘Dari rumah, sudah lama ya’
Yogi : Ampai gawoh, palingan 2 jam. ‘Baru saja, hanya sudah 2 jam’
Anja : Mahaf nihan Gi, nyak ku jeno tehinok. ‘Maaf sekali Gi, saya tadi ketiduran’
S (Setting and scene) Percakapan terjadi di persimpangan jalan desa Surabaya, pukul 14.30 wib
P (Participant) dua orang penutur bahasa ranau (laki-laki), warga masyarakat desa Surabaya
E (Ends) Memberitahu dan menyindir teman yang ingkar janji
A (Act) Bahasa daerah (dialek Ranau)
K (Key) Nada serius dan kesal
I (Instrument) Lisan
N (Norm) Tanya jawab
G (Genre) Percakapan

Pada percakapan di atas, ujaran Ampai gawoh, palingan 2 jam. ‘Baru saja, hanya sudah 2 jam’ adalah majas ironi yang diujarkan Yogi kepada Anja. Yogi kesal dan kecewa terhadap Anja yang datang terlambat. Anja seolah-olah tidak bersalah dan balik bertanya apakah Yogi sudah lama menunggu. Yogi menjawab dengan kesal dan berkata kalau dia belum lama menunggu, padahal sudah 2 jam Yogi menunggu Anja. Anja merespon dengan meminta maaf karena sudah membuat Yogi kesal dan kecewa.
(2) Percakapan berikut terjadi di warung manisan salah satu warga desa Surabaya. salah seorang warga hendak membeli tisu di warung manisan punya Kholid, (Data 8 Juni 2011).
Yanti : Pigha tisu kak? ‘Berapa tisu kak?’
Kholid : Seghibu. ‘Seribu’
Yanti : Dak limo ratus. ‘Tidak lima ratus’
Kholid : Akukdo, ke niku mawek liom. ‘Ambillah, kalau tidak malu’
S (Setting and scene) Percakapan terjadi di salah satu warung manisan desa Surabaya, pukul 11.15 wib
P (Participant) dua orang penutur bahasa ranau (perempuan dan laki-laki), warga masyarakat desa Surabaya
E (Ends) Memberitahukan dan menjelaskan mengenai harga barang yang dijual di Warung manisan punya Kholid
A (Act) Bahasa daerah (dialek Ranau)
K (Key) Nada serius dan kesal
I (Instrument) Lisan
N (Norm) Tanya jawab
G (Genre) Percakapan

Pada percakapan di atas, ujaran Akukdo, ke niku mawek liom. ‘Ambillah, kalau tidak malu’ merupakan ironi yang diujarkan Kholid pada Yanti. Kholid menyindir Yanti yang menawar harga tisu. Kholid kesal sebab Yanti sebenarnya sudah tau kalau harganya di warung manisan tidak bisa ditawar, tetapi Yanti masih menawar. Kholid menyindir dengan menjawab ambillah, tetapi Kholid mengatakan kalau Yanti tidak malu membayar uang dibawah harga yang telah ditentukan.
6.5 Alasan Penggunaan Ironi yang Menggelikan
Penggunana majas ironi yang menggelikan dimaksudkan untuk mengejek/menyindir lawan tutur. Berdasarkan Ends dan Key, ironi ini digunakan untuk menjelaskan maksud dengan mengejek, menyatakan tujuan dengan mengejek, dan bertanya sesuatu dengan mengejek.
6.5.1 Menjelaskan Maksud dengan Mengejek
a. Data nomor 1, 6 Juni 2011
Belva : ngeliak Jum mawek niku wo? ‘melihat Jum tidak kak?’
Evi : Jum se sepa? ‘Jum yang mana?’
Belva : Se langgagh, handak, sikop. ‘Yang tinggi, putih, cantik’
Rosa : Sehedi ya Bel se manis ke makai kacamata galak nekham cawako injuk Omas. ‘Itu Bel yang manis memakai kacamata yang kita bicarakan seperti Omas.
Evi : Ha…ha..mit dudi dek. ‘Ha…ha..kesana dek’
Ironi pada percakapan di atas, merupakan penjelasan terhadap cirri-ciri seseorang yang sedang dicari lawan tutur. Ujaran Sehedi ya Bel se manis ke makai kacamata galak nekham cawako injuk Omas. Merupakan penjelas yang berisi sebuah petunjuk terhadap cirri seseorang yang sedang ditanyakan. Penjelasan tersebut disampaikan dengan nada mengejek, bersifat kelakar dan bertujuan memberikan kejelasan bagi lawan tutur terhadap informasi tesebut.
b. Data nomor 2, 8 juni 2011
Natun : Ai, injukni kebersihan. ‘Hai, sepertinya kebersihan’
Lekat : Iya. ‘Iya’
Natun : Ana adu kecah, ngapi ampai dikecahko? ‘kan sudah bersih, mengapa baru dibersihkan?’
Lekat : Maghini tulungi. ‘makanya bantu’
Natun : Iyu, tapi nyak ku nulung makai du’a gawoh. ‘Iya, tetapi saya bantu dengan doa’
Ironi pada percakapan di atas, digunakan untuk memaparkan sebuah alasan diadakannya kebersihan. Ujaran Ana adu kecah, ngapi ampai dikecahko? ‘kan sudah bersih, mengapa baru dibersihkan?’ merupakan ironi yang berisi penjelasan terhadap tempat yang kotor dan baru dibersihkan.
6.6 Alasan Penggunaan Ironi yang Menyinggung Perasaan
Penggunaan ironi yang menyinggung perasaan dimaksudkan untuk mengejek/menyindir lawan tutur. Berdasakan Ends dan Key, ironi ini digunakan untuk memberitahukan sesuatu hal/informasi dengan mengejek dan menjelaskan maksud dengan mengejek.
6.6.1 Memberikan Sesuatu Hal dengan Mengejek
a. Data nomor 1, 10 Juni 2011).
Yogi : Jak ipa? ‘Dari mana?’
Anja : Jak lamban, adu saka kudo. ‘Dari rumah, sudah lama ya’
Yogi : Ampai gawoh, palingan 2 jam. ‘Baru saja, hanya sudah 2 jam’
Anja : Mahaf nihan Gi, nyak ku jeno tehinok. ‘Maaf sekali Gi, saya tadi ketiduran’
Ironi pada percakapan di atas, digunakan untuk memberitahukan waktu menunggu lawan tutur. Ironi disampaikan dengan lama menunggu lawan tutur yaitu selama 2 jam.
b. Data nomor 2, 8 Juni 2011.
Yanti : Pigha tisu kak? ‘Berapa tisu kak?’
Kholid : Seghibu. ‘Seribu’
Yanti : Dak limo ratus. ‘Tidak lima ratus’
Kholid : Akukdo, ke niku mawek liom. ‘Ambillah, kalau tidak malu’
Ironi pada percakapan di atas, digunakan untuk memberitahukan harga tisu kepada lawan tutur. Ironi disampaikan disampaikan dengan membenadingkan harga tisu yang ditawar dengan harga tisu yang sebenarnya.
7. Langkah-langkah danJadwal Penelitian
7.1 Langkah Kerja
7.1.1 Langkah Persiapan
1. Studi Pustaka
2. Membuat rancangan usul penelitian
3. Seminar usul penelitian
7.1.2 Tahap Pengumpulan Data
Mencari dan menentukan sumber data
7.1.3 Tahap Pengolahan Data
1. Menginterpretasi data
2. Mengklasifikasi data
3. Menganalisis data
4. Membuat kesimpulan
7.1.4 Tahap Penyusunan Laporan Penelitian
1. Menyusun draf laporan penelitian
2. Menyusun laporan penelitian
3. Mengumpul laporan hasil penelitian
7.2 Jadwal Penelitian

No
Kegiatan Minggu Ke-
1 2 3 4
1 Tahap Persiapan X
2 Tahap Pengumpulan Data X X
3 Tahap Pengolahan Data X
4 Tahap Penyusunan Laporan Penelitian X


DAFTAR PUSTAKA

Ali, mohammad. 1987. Penelitian Pendidikan Prosedur dan strategi. Bandung: Angkasa.
Arikunto, Suhaimi. 1999. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chear, Abdul dan Agustina Leonie. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ismari. 1995. Tentang Percakapan. Surabaya: Airlangga University Press.
Keraf, Gorys. 1991. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarata: Universitas Indonesia.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press. Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widyaduta.
Tarigan, Hendry Guntur. 1985. Pengajaran Bahasa. Bandung: Angkasa.
____________. 1986. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan dkk. 1991. Pendidikan bahasa Indonesia 1. Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar